13 November 2009

Dzikir Berjama’ah


Dari Amru bin Salamah, beliau berkata: Kami duduk-duduk di depan rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum Dzuhur lalu jika beliau keluar kami akan berjalan bersamanya ke masjid, lalu datanglah Abu Musa Al-Atsary dan berkata: “Apakah Abu Abdurrahman telah menemui kalian?”

Kami jawab: "Belum".

Lalu beliau duduk bersama kami sampai Abdullah bin Mas’ud keluar, ketika beliau keluar kami semua menemuinya. Kemudian berkata Abu Musa kepadanya: “Wahai Abu Abdurrahman saya telah melihat di masjid tadi satu hal yang saya anggap mungkar dan saya tidak memandangnya -Alhamudlillah- kecuali kebaikan.

Beliau bertanya: “Apa itu ?”

Dijawab: “Jika engkau hidup niscaya akan melihatnya, aku telah melihat di masjid suatu kaum berhalaqah, duduk-duduk menanti shalat pada setiap halaqah ada seorang yang memimpin dan di tangan-tangan mereka ada batu kerikil, lalu berkata (yang memimpin): “Bertakbirlah 100 kali”, dan mereka bertakbir 100 kali, dan berkata: “Bertasbihlah 100 kali dan mereka bertasbih 100 kali”.

Berkata Abdullah bin Mas’ud: “Apa yang engkau katakan kepada mereka?”.

Abu Musa menjawab: “Saya tidak mengatakan sesuatupun pada mereka menunggu perintahmu”.

Berkata Abdullah bin Mas’ud: “Mengapa tidak kamu perintahkan mereka untuk menghitung kejelekan mereka [1] dan aku menjamin mereka tidak ada kebaikan mereka yang disia-siakan”.

Kemudian beliau berjalan dan kami berjalan bersamanya sampai beliau mendatangi satu halaqah dari pada halaqah-halaqah tersebut dan menghadap mereka lalu berkata: “Apa ini yang kalian lakukan ?!”.

Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdirrahman, batu kerikil yang kami pakai untuk menghitung tahlil dan tasbih”.

Berkata Ibnu Mas’ud: “Dan aku menjamin tidak akan ada satupun kebaikan kalian yang tersia-siakan, celakalah kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, mereka sahabat-sahabat nabi masih banyak hidup dan ini pakaiannya belum rusak dan bejananya belum hancur dan demi Dzat yang jiwaku di tangannya sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad atau kalian pembuka pintu kesesatan”.

Mereka berkata: “Demi Allah wahai Abu Abdirrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan, lalu beliau berkata: “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada kaum yang membaca Al-Qur’an tidak melebihi tenggorokkannya [2] dan demi Allah saya rasa tampaknya kebanyakan mereka adalah dari kalian.

Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amru bin Salamah berkata: “Aku telah melihat mayoritas halaqah-halaqah tersebut memerangi kami pada perang Nahrawan bersama Khawarij” [Kitab Al-Bid’ah wa Atsaruha Asayi’ fi Al-Ummah]

Disini Abdullah bin Mas’ud telah beragumentasi kepada cikal bakal Khawarij dengan keberadaaan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara mereka, dan mereka tidak melaksanakan pekerjaan tersebut. Sebab, seandainya hal itu merupakan kebaikan sebagaimana yang mereka sangka tentu sahabat-sahabat Nabi telah mendahului mereka untuk melakukannya, maka itu merupakan kesesatan. Maka seandainya manhaj sahabat bukanlah hujjah atas orang setelah mereka maka tentu mereka berkata kepada Abdullah bin Mas’ud: “Kalian rijal dan kami rijal”.

Beliaupun berkata: Barangsiapa yang mencontoh maka contohlah sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang dari umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling tidak macam-macam, paling baik contoh teladannya dan paling bagus keadaannya, mereka adalah suatu kaum yang di pilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menemani NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan untuk menegakkan agamaNya, maka akuilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka karena mereka telah berada diatas petunjuk yang lurus.

*****

1. Bid’ahnya dzikir berjama’ah. Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani berkata: :Dalam kisah ini terdapat pelajaran bagi kaum kaum tarekat dzikir yang menyelisihi sunnah. Sungguh sangatlah lucu jawaban mereka tatkala kita ingkari perbuatan mereka dengan menuduh bahwa kita mengingkari dzikir. Padahal tidak ada seorang muslim pun di dunia ini yang mengingkari ibadah dzikir karena pengingkaran ini merupakan kekufuran. Namun yang kita ingkari adalah cara-cara bid’ah dalam dzikir tersebut. Kalau tidak, lantas apa yang diingkari sahabat Abdullah bin Mas’ud pada mereka?. Bukankah perkumpulan yang ditentukan, bilangan yang ditentukan oleh ketua halaqah tersebut, seakan-akan dia adalah pembuat syariat guna melawan Allah?!. Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang meensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?. Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang zalim itu akan rnemperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy-Syuara:21). [Silsilah Ahadits As-Shahihah: 5/13].

2. Ibadah itu harus sesuai syariat yang telah dicontohkan oleh Nabi yang mulia, bukan berdasarkan hawa nafsu, adat istiadat dan kebid’ahan. Oleh karena itu, timbangan bagusnya amal ibadah seorang bukanlah banyaknya ibadah, tetapi keberadaanya yang sesuai dengan sunnah, jauh dari aroma bid’ah. Hal ini sebagaimana telah disinyalir oleh Abdullah bin Masud: Sedikit namun sesuai sunnah, lebih baik daripada bersungguh-sungguh tetapi berbau bid’ah. [Syarah Ushul Itiqad Ahius Sunnah: 114 oleh Al-Lalikai].

3. Sebagaimana sebuah tujuan harus sesuai syariat maka wasilahnya (sarana) juga harus sesuai syariat. Sebab tatkala Allah menjelaskan sebuab tujuan, maka Dia tidak mungkin lupa untuk menerangkan wasilahnya. Contoh mudah masalah dzikir, tatkala Allah mensyariatkannya maka Dia juga tidak melupakan wasilahnya. Oleh karena itu Nabi bertasbih dengan tangan kanannya.

Banyak orang berkilah tatkala kita ingkari perbuatan bid’ah yang dia lakukan: ini adalah wasilah dan tujuannya adalah ibadah. Sedangkan wasilah memiliki hukum seperti tujuannya.

Perhatikanlah wahai saudaraku kisah menarik di atas, bagaimana ulama para sahabat menyikapi masalah ibadah, tujuan, sarana dan niat para pelakunya.

Keterangan lebih lanjut sebagai berikut:
  • Suatu kaum yang berkumpul berdzikir bersama berupa takbir, tahlil dan tasbih.
  • Mereka menggunakan kerikil sebagai alat/sarana untuk menghitung takbir dan tasbih mereka.
  • Mereka bermaksud baik dengan amal perbuatan tersebut yaitu ibadah, dzikir dan mengagungkan Allah. Oleh karena itu mereka berkata: Wahai Abu Abdir Rahman, kami tidak bermaksud kecuali untuk kebaikan.
  • Sekalipun demikian, Abdullah bin Masud mengingkari perbuatan mereka berikut alat yang mereka pergunakan, karena semua itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi padahal hal itu mudah bagi beliau untuk menggunakannya. Tak cukup hanya itu, Abdullah bin Masud juga menetapkan bahwa mereka telah melakukan perbuatan dosa, dikarenakan mereka menyelisihi sunnah dan melakukan bid’ah.
4. Bid’ah Idhofiyyah adalah sesat. Maksudnya suatu amalan yang aslinya memang ada dasar dalilnya, tapi tata cara, bilangan dan sifatnya tidak berdasarkan dalil. Perhatikanlah anggota khalayak dzikir kaum tersebut, mereka tidak mengatakan suatu kekufuran atau kemungkaran -menurut penilaian mereka- tetapi mereka berdzikir kepada Allah, suatu amalan yang jelas sekali disyariatkan. Namun tatkala mereka mengerjakannya tidak sebagaimana sifat dan tata-cara yang dicontohkan oleh Nabi yang mulia, maka para sahabat mengingkari mereka dan memerintahkan agar menghitung kesalahan-kesalahan mereka.

5. Kebid’ahan mematikan sunnah. Tatkala anggota halaqah dzikir bersama tersebut membuat suatu tata cara dan sifat dzikir yang tidak dicontohkan oleh Nabi, maka mereka berarti telah mematikan petunjuk Nabi. Inilah suatu pokok yang difahami oleh para salaf shalih, mereka memandang dengan penuh keyakinan bahwa bid’ah dan sunnah tidak mungkin bisa berkumpuL. Seorang tabiin yang mulia, Hassan bin Athiyyah mengatakan: Tidaklah suatu kaum rnembuat suatu bid’ah dalam agama, kecuali sunnah akan dicabut dari mereka. [Shahih. Dikeluarkan Ad-Darimi 1/45].

6. Kebid’ahan penyebab kehancuran. Sebab kebid’ahan akan menyeret seorang untuk meninggalkan sunnah, sedangkan apabila seorang meninggalkan sunnah maka dia akan terjatuh dalam lembah kesesatan yang amat nyata. Berkata sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud: Apabila kalian tinggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat [Muslim 5/156 –Nawawi].

Dan apabila umat tersesat, maka mereka akan hancur binasa. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ud mengatakan kepada anggota halaqah dzikir tersebut: “Wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kehancuran kalian”.

7. Kebid’ahan adalah pos menuju kekufuran. Hal itu karena seorang pembuat bid’ah berarti menjadikan dirinya sebagai pembuat syariat, menandingi Allah, meralat Allah dan menganggap bahwa dirinya di atas agama yang lebih benar dan sempurna daripada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad .

8. Niat baik tidak bisa merubah kebatilan menjadi kebajikan. Seringkali kita dengar ucapan yang banyak beredar di masyarakat tatkala aktivitas kebid’ahan mereka dikritik: “Ah, yang penting-kan niatnya baik”.

Ucapan seperti ini tidak benar sama sekali, karena sekedar niat yang baik tidak cukup tanpa dibarengi dengan amaIan yang sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Oleh karenanya, .Sahabat Ibnu Mas’ud tidak menjadikan alasan niat baik mereka sebagai alasan untuk mendiamkan dan membenarkan perbuatan mereka, bahkan beliau mengatakan: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya” .

Imam al-Baihaqi meriwayatkan [dalam Sunan Kubra:2/466 dengan sanad yang shahih], bahwasanya beliau pernah melihat seorang laki-laki melakukan shalat setelah terbitnya fajar lebih dan dua rakaat dengan memanjangkan ruku dan sujudnya. Melihat hal itu, Said bin Musayyib melarangnya. Orang itu menjawab: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena sebab shalat?. Beliau menjawab: “Tidak!, namun Allah menyiksamu karena engkau menyelisihi sunnah”.

Syaikh al-Albani mengomentari atsar ini [dalam Irwa’ul Ghalil:2/236]: ini merupakan jawaban Said bin Musayyib yang sangat indah, sekaligus senjata pamungkas bagi orang-orang ahli bid’ah yang menilai baik kebanyakan bid’ah-bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat. Kemudian menuduh ahli sunnah bahwamereka mengingkari dzikir dan shalat. Padahal yang mereka ingkari adalah penyelewengan mereka dari tuntunan Rasul dalam berdzikir, shalat dan lain sebagainya.

Foot Note:
[1] Agar mereka meminta ampunan darinya, karena barangsiapa yang menghitung kejelekannya maka akan mendorongnya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
[2]. Hadits ini memiliki jalan lain dari Abdullah bin Mas’ud dikeluarkan oleh Ahmad:1/404 dengan sanad yang baik. Dan demikian juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat.