14 November 2009

Membaca Target Aksi "Teroris"

The Manhattan Raid is Spectacular Action, No Conspiracy Theory

Serangan bom “teroris” pada 17 Juli lalu di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Pusat, membuat banyak kalangan terhenyak. Pertama, JW Marriott pernah diserang sebelumnya, dan aksi yang terulang pada bulan lalu itu menunjukkan para perancang “teror” memiliki pengetahuan strategis tentang target.

Tulisan ini hendak menyorot aksi serangan 17 Juli itu dari sudut target aksi. Para analis aksi teroris memakai sejumlah ukuran untuk melihat target serangan yang mungkin terjadi lewat satu pendekatan yang disebut “Carver-Shock”.

“Carver” adalah singkatan dari Criticality, Accessibility, Return, Vulnerability, Effect dan Recognizibility. Sedangkan “Shock” adalah efek psikologis dari masyarakat atas serangan target terhadap simbol dari negara, agama, kebudayaan. Besaran kejutan ini akan membawa dampak hingga pemulihan segala bidang akan memakan waktu lama sekali.

Metode ini sebetulnya bagian dari alat ukur penilaian situasi membuat keputusan menyerang target tertentu. Tapi, dengan argumentasi sama, alat ukur itu bisa juga dipakai untuk menahan dan mengantisipasi serangan lawan.

Metode ini banyak digunakan oleh pasukan komando di dunia, seperti Delta Force, Green Berrets dari Amerika Serikat, SAS dari Inggris, dan Sayeret Matkal dari Israel.

Sejumlah aspek dari target yang dijadikan ukuran bisa dijelaskan sebagai berikut. Aspek Criticality digunakan untuk menimbang level pengaruh dari obyek utama serangan. Dia menghitung signifikansi target, makin penting satu sasaran maka nilainya kian tinggi, dengan rentang nilai 1-10.

Maksud dan tujuan si penyerang akan menentukan tingkat signifikansi. Misalnya, tingkat kekritisan akan mendapat nilai tinggi jika yang diserang adalah orang sangat penting di negara itu.

Dalam kasus aksi bom di Marriot dan Ritz Carlton, tingkat kekritisan dari target berupa rusaknya bangunan itu, khususnya bagian dalam. Juga korban yang tewas, terdiri dari warga asing dan Indonesia. Menimbang mereka yang tewas, dan adanya pertemuan CEO perusahaan tambang, maka tingkat kekritisan target lumayan besar.

Lalu ada aspek Accessability, yang menakar mudah tidaknya target diakses oleh teroris. Pertanyaan yang harus diajukan adalah sejauh mana target bisa dijangkau, hambatan apa bagi penyerang masuk ke target.

Hal ini menyangkut pembacaan medan, laporan observasi atau intelijen dari penyerang. Dari aspek ini, penggunaan ”orang dalam”, antara lain Ibrohim seorang florist yang bekerja di Marriot, adalah bernilai tinggi. Dia sudah dikenal, dan akses ke target mendapat nilai tinggi.

Pertimbangan lain adalah aspek Return, atau Recuperabilty. Ini menyangkut daya pulih dari target. Semakin target itu lama pulih, maka nilainya kian besar. Untuk hal ini, tampaknya kedua target baik Marriott maupun Ritz-Calrton lebih cepat pulihnya, sehingga memberi nilai rendah bagi si penyerang.

Masih menyangkut daya tahan target, ada pula hitungan yang disebut Vulnerability, atau kerawanan target, dengan perhitungan mudah atau tidak target dirusakkan atau dimusnahkan. Dalam konteks ini, bom di Marrriott dan Ritz-Carlton mencatat target yang rumit. Sasaran serangan adalah dua restoran di dalam. Bagian yang punya nilai vulnerabilitas tinggi hanya target personil yaitu para bos perusahaan pertambangan yang sedang sarapan pagi di hotel itu.

Perhitungan lain adalah soal Effect atau dampak dari keberhasilan serangan yang dibangun. Jika berdampak besar pada target, termasuk berapa persen efek serangan itu atas aspek sosial, ekonomi dan politik, maka nilainya makin tinggi. Dalam kasus Marriott-Ritz Carlton, serangan itu punya efek besar, karena mewakili simbol negara tertentu, dan lagi pula dari sudut pemberitaan sangat krusial mengingat adanya rencana klub sepakbola tersoroh Manchester United hendak menginap di sana.

Sedangkan Recognizability, adalah indikator menghitung level kemudahan target untuk diserang dalam segala kondisi (sulit, mudah dan sedang). Faktor paling berpengaruh dari serangan ini adalah apakah targetnya banyak, atau sangat kompleks.

Juga turut dipertimbangkan karakteristik dari target itu (sebagai simbol nasional, agama atau simbol-simbol yang berpengaruh atas penduduk di negara itu). Nilainya akan makin besar jika target itu bisa saja diserang tanpa rencana matang, atau tanpa ahli berpengalaman. Marriott pernah menjadi sasaran pada 2003, jadi sangat besar kemungkinan target itu disarankan kembali oleh si perancang serangan.

Perhitungan terakhir adalah Shock, berupa efek psikologis dari masyarakat atas serangan terhadap target yang berupa simbol negara, agama, kebudayaan. Besaran dari kejutan ini akan berdampak kepada lainnya sehingga pemulihan segala bidang yang terkena akan memakan waktu lama sekali. Shock tidak diberi nilai, karena dia hasil keseluruhan penilaian secara kualitatif. Secara umum, shock ini berdampak besar, karena serangan ini adalah ulangan dari aksi dengan target yang sama. Dia juga berdampak turunnya kredibilitas keamanan di Indonesia.

Metode ”Carver-Shock” ini sangat berguna untuk pegangan para aparat keamanan dalam menilai target serangan terorisme di Indonesia. Setidaknya dia menjadi parameter menganalisis jalan pikiran para penyerang ketika mereka menetapkan satu target serangan. Yang harus dilakukan adalah menyiapkan kontra-strategi yang cepat, tepat dan terukur.

Zulkarnanen Yusuf adalah perwira menengah Polri, dan anggota IABTI (International Association Bomb Technician and Investigator). (vivanews.com)