24 November 2009

Syariah Islam Sangat Cocok untuk Masyarakat yang Majemuk


Seruan penegakkan syariah dan khilafah di Indonesia semakin membahana, seolah-olah tak terbendung lagi. Banyak pihak yang dulunya ragu dengan upaya ini, sekarang keraguan itupun mulai di kikis habis. Yang awalnya menolak mentah-mentah, kini Alhamdulillah mau menerima, bahkan bersedia ikut terjun dalam perjuangan

Terbukti, setidaknya dengan hasil dari beberapa poling menunjukkan hal itu. Kompas misalnya, media yang dikenal berhaluan sekuler ini pernah merilis sebanyak 80 % mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Kompas, 4/03/2008). Sedangkan SEM Institute mengeluarkan data sekitar 72 % masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariat Islam, 18 % tidak setuju dan 10 % terserah. (Halqah Islam dan Peradaban, Mewujudkan rahmat untuk Semua, di Wisma Antara, Jakarta. Selasa 16/09/2008 ).

Namun masih ada segelintir orang yang memang belum setuju dengan upaya penerapan syariah Islam di Indonesia ini.

Salah satu alasan klasik yang dilontarkan ialah perihal kemajemukan Indonesia, di negri ini penduduknya tidak semuanya muslim. Begitulah kurang lebih statement mereka.

Alasan ini tampak aneh bin ajaib ketika hal yang sama tidak di tujukan bagi Ideologi lain yakni kapitalisme dan sosialisme. Di Indonesia ini tidak semuanya berpaham sekuler, tapi kenapa juga masih di terapkan sistem sekuler kapitalisme. Begitu pula pihak yang ingin memperjuangkan sosialisme, kenapa alasan ini tidak di arahkan kepada mereka.

Perlu di catat, faktanya Islamlah yang mampu mengurusi masyarakat yang majemuk dengan baik selama berabad-abad, sosialis cuma bertahan 72 tahun sudah hancur. Sedangkan kapitalisme pimpinan Amerika, sekarang saat ini sudah kelihatan bobroknya.

Sejarahwan dari barat Will Durrent pernah mengatakan: ”Para Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi saiapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka ” (Will Durant, The Story of Civilization)

T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam juga menulis: “ Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil”. Subhanallah.

Kehebatan Islam mengatur kemajemukan

Secara historis realitas masyarakat memang majemuk/heterogen. Zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sewaktu berdiri Negara Islam pertama kali di Madinah, penduduknya juga majemuk, ada umat Islam, nasrani, yahudi dll, seperti halnya kehidupan pada kekhilafahan setelahnya.

Dalam kitab Ad-Daulah Al-Islamiyah Syeikh Taqiyyudin An-Nabhaniy secara umum menjelaskan bagaimana perlakukan negara khilafah terhadap non muslim, antara lain:
  • Seluruh hukum Islam diterapkan kepada kaum muslim
  • Non muslim dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya
  • Memberlakukan non muslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum
  • Urusan pernikahan dan perceraian antar non muslim diperlakukan menurut aturan agama mereka
  • Dalam bidang publik seperti mu’amalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya , negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga Negara baik muslim maupun non muslim
  • Setiap warga Negara yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah rakyat Negara, sehingga Negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan muslim maupun non muslim.
Pemberlakuan syariah Islam dalam sektor publik ini pernah di contohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau menyuruh memberikan sanksi Islam kepada dua orang yahudi yang kedapatan berzina. Dalam sebuah hadits, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadapkan seorang pria dan seorang wanita mereka, yang keduanya kedapatan berzina. Rasullulah memerintahkan supaya keduanya di hukum rajam. Lantas keduanya dirajam di tempat-tempat jenazah di samping masjid (HR. Bukhari).

Sepenggal kisah luar biasa di torehkan pada masa pemerintahan Islam yang menggambarkan bahwa setiap warga Negara memperoleh persamaan hak di depan hukum. Tidak pandang bulu entah itu pejabat atau rakyat biasa (muslim maupun non muslim). Dalam sebuah riwayat di jelaskan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang kala itu menjabat sebagai khalifah (kepala Negara) kehilangan baju besi miliknya yang di curi oleh orang yahudi. Kemudian perkara itupun di selesaikan ke meja hijau, karena khalifah Ali tidak mempunyai bukti-bukti kuat dan hanya bisa mendatangkan saksi anaknya (Hasan), akhirnya sang hakim (qodhi) yang bernama Syuraih memutuskan bahwa perkara dimenangkan oleh orang yahudi tersebut.

Mengambil pelajaran dari kasus tersebut, sang yahudi merasa terpukau, dan akhirnya ia pun mengakui bahwa baju besi itu milik khalifah Ali, dia yang mencurinya. Seketika itu ia masuk Islam.

Orang yahudi itu berkata “Wahai Khalifah, sesungguhnya baju perang ini milikmu,” “Ambillah kembali. Aku sungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang Yahudi miskin dan engkau adalah Amirul Mukminin. Ternyata pengadilan muslim memenangkan aku. Sungguh, ini adalah pengadilan yang sangat luar biasa. Dan sungguh, Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam ruang peradilan, Wahai Khalifah Ali, mulai detik ini aku akan memeluk Islam dan ingin menjadi muslim yang baik,” katanya mantap sambil menyodorkan baju perang milik khalifah

Khalifah Ali tertegun sejenak kemudian berkata. “Wahai Fulan, ambilah baju perang itu untukmu. Aku hadiahkan kepadamu. Aku gembira dengan keislamanmu”, kata Ali. bersemangat. Mereka pulang dari ruang peradilan dengan gembira”. Subhanallah. (voa-islam.com)