22 November 2009

Indonesia Luluskan Kader Intelijen. What Next?




Kamis, 08 Oktober 2009 | 08:03:10 WIB

STIN Indonesia selangkah lebih serius menata dunia intelijennya. Begitulah yang terkesan saat mencermati prosesi wisuda pertama Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), 2 Oktober silam. Sekolah tinggi yang terletak di kawasan sejuk wilayah Sentul, Jawa Barat ini menerima (baca: merekrut) siswa dan siswi cerdas dari seluruh penjuru negeri. Mereka mendidik anak-anak penuh talenta ini dengan berbagai disiplin ilmu, terutama bidang keintelijenan.

Sekolah yang berdiri tahun 2004 saat Kepala BIN AM Hendropriyono menjabat ini telah meluluskan 30 kader intelijen dari dua program studi keagenan (agent) dan analis (analyst). Menurut Kepala BIN Syamsir Siregar, para lulusan ini adalah generasi penerus intelijen Indonesia untuk 10 – 15 tahun ke depan. Tentu saja, tantangan yang dihadapi mereka akan jauh lebih rumit dan kompleks dari generasi intelijen sekarang yang dinilai banyak kalangan bekerja secara serampangan.

“Jika berhasil (menjalankan tugas) tidak dipuji. Jika gagal dicaci maki. Jika hilang tidak dicari. Dan jika mati tidak ada yang mengakui,” tutur As’ad Ali wakil pimpinan BIN. Itulah gambaran secara ringkas betapa beban berat menghadang para lulusan ini. Hidup dalam serba rahasia bahkan semenjak mereka memasuki sekolah tinggi ini. “Kalau ditanya kuliah di mana, anak-anak sudah faham harus menjawab apa. Hanya keluarga mereka yang diberitahu kondisi sebenarnya, termasuk juga perihal akan jadi apa anak-anak mereka nantinya, seperti apa pekerjaan dan risikonya,” ujar Supono Sugirman Ketua II STIN yang menemani wartawan berkeliling kompleks asrama.

Namun sejurus kemudian pertanyaan mencuat. Apa akibat dari upaya besar-besaran dalam mengkader tenaga intelijen ini?. Sebagian tentu akan memberikan apresiasi positif karena tentu saja akan segera memperkuat lini pertahanan dan keamanan negara, baik dari ancaman luar negeri maupun tantangan dari dalam negeri. Namun apresiasi yang penuh dengan kecemasan tidak pula dapat diabaikan.

Bangsa ini mengalami beberapa peristiwa kurang menyenangkan dengan tingkah laku aparat intelijennya sendiri. Sering kali aparat intelijen tidak memberikan rasa aman, justru memberi efek teror kepada masyarakat. Ambil contoh kondisi saat ini, suasana gelisah, tidak nyaman, dan serba curiga terhadap orang lain adalah akibat dari kurang rapi dan kerja serampangan dari aparat intelijen dalam memberantas aksi yang disebut sebagai aksi terorisme. Tindakan salah tangkap, informasi yang tidak akurat menjadi atribut dari hasil kerja intelijen Indonesia. Vonis kematian Noordin M. Top pada penggerebekan di Temanggung oleh TV One yang familiar sebagai corong media intelijen (meski tidak diakui secara resmi), menjadi bukti memalukan dari gerak laju kerja intelijen. Bocor sebelum dibuktikan kebenarannya.

Lebih jauh lagi kebelakang, kerja intelijen Indonesia era Soeharto setali tiga uang dengan kondisi sekarang. Intelijen justru membuat warga masyarakat menjadi resah dan tidak tergerak untuk beraktualisasi diri. Masyarakat dibayang-bayangi dengan UU Subversif, sebuah peraturan perundang-undangan yang menjadi senjata ampuh untuk menekan dan melumpuhkan suara kritis dan kreatif dari masyarakat. Dari semua hal tersebut siapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan?. Tak lain adalah ummat Islam.

Kelompok masyarakat inilah yang menjadi bulan-bulanan pemerintah. Kelompok masyarakat ini hanya “dibutuhkan” jika menghadapi Pemilu semata. Lain itu dalam pengambilan kebijakan dan penentuan arah kemajuan bangsa, kelompok Islam selalu dicurigai dan diawasi. Tidak mengherankan memang, karena kiprah ummat Islam sudah dibayang-bayangi dan dijegal jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Merespon Gerak Laju Dakwah

Semenjak serangan spektakuler 11 September yang oleh berbagai kalangan Islam dianggap sebagai bagian dari Jihad, memang benar-benar mengubah wajah dunia. Dunia sekarang lebih mudah menandai siapa mendukung siapa dan siapa melawan siapa. Susah sekali sekarang menandai orang yang bermuka dua. Kalau tidak mendukung, ya berarti melawan. Sebagaimana kalimat terkenal dari George Walker Bush, “Anda bersama kami, atau melawan kami”. Akibat lanjut dari pernyataan ini adalah Islam menjadi pihak yang berseberangan dengan Amerika yang diwakili oleh George Walker Bush.

Namun justru kondisi ironi terjadi dalam gerakan dakwah. Semenjak serangan itu, intensitas dan prestasi gerakan dakwah tidak surut, namun malah melonjak. Tidak sedikit warga Amerika yang belajar Islam semenjak serangan 11 September. Banyak kalangan ulama yang merapatkan barisan untuk mendidik ummat dan sekaligus menjawab tantangan zaman. Sementara di Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tidak ketinggalan kereta.

Gerakan untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kian gencar dan solid. Upaya ini ditempuh oleh berbagai kalangan Islam di Indonesia. Mereka yang bergerak di dunia pendidikan, ranah politik, lini bisnis dan ekonomi, dan dunia pemerintahan bergerak bersama, meski kadang kurang terkoordinasi. Fakta dari intensitas gerakan dakwah Islam ini dapat dilihat dari makin kuatnya peran ulama dalam menjaga dan membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Sering kali nada protes dan teguran keras dialamatkan kepada pemerintah bila dalam kebijakan atau hal-hal yang menyangkut kepentingan publik dirasa tidak sesuai dengan kaidah dan norma Islam. Dari pernyataan di media nasional hingga aksi demonstrasi di jalan-jalan. Beberapa ulama yang kerap melayangkan teguran kepada pemerintah adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Habib Rizieq Syihab. Dua tokoh ini menjadi symbol perlawanan ummat Islam atas kebijakan pemerintah yang dinilai sewenang-wenang. Hingga akhirnya segala bentuk kekerasan dan aksi merugikan masyarakat atas nama Islam dialamatkan kepada dua tokoh ulama ini, terutama Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Seperti kita ketahui, Pimpinan Pondok Ngruki ini dituduh sebagai mastermind dari aksi yang dituduh sebagai aksi terorisme hanya gara-gara pelaku mengenal atau pernah menjadi murid ustadz yang telah lanjut usia ini.

Di sisi, lain respon masyarakat terhadap Islam juga makin mengkristal. Masyarakat Islam kini tidak lagi hanya duduk sebagai penonton. Mereka lebih aktif dalam memperjuangkan hak-hak asasi mereka daripada bila kita menengok ke belakang satu dekade lalu.

Dari berbagai fenomena ini, nampaknya menjadi sinyal merah bagi para pemangku kebijakan di Indonesia yang tidak menghendaki Islam menjadi tatanan di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa perlu dilakukan sebuah upaya yang sistemik dan terintegrasi untuk merespon gerak laju perkembangan politik dan social dari ummat Islam. Jangan sampai kejadian seperti di Aljazair, dan terakhir di Turki terjadi di Indonesia. Karena kini Turki menjadi lebih Islami dan kuat dengan kultur Islamnya. Oleh karena itu, kebijakan yang akan dibuat ke depan perlu lebih di telaah agar lebih “Indonesia” dan jangan sampai terkesan “Islami”. Begitu kira-kira hemat mereka. Sehingga tindakan awal sebelum membuat kebijakan adalah dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai potensi, kondisi kekinian, pola gerak, peta kekuatan, dan peta potensi dari seluruh aktivitas masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam.

Meski tulisan ini tidak menghadapkan secara berlawanan antara pemerintah dalam hal ini aparat intelijen negara dengan ummat Islam dalam hal ini para aktivisnya, namun ada satu point yang patut untuk dicatat. Jangan sampai tenaga intelijen yang sudah di didik lama dan menelan biaya besar dari rakyat ini digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau digunakan untuk memaksakan dan mencegah kebebasan dalam menjalankan hak asasi masyarakatnya. Pendek kata aparat intelijen sudah seharusnya mengumpulkan informasi untuk mencegah timbulnya kekacauan bukan menimbulkan keresahan dengan desas-desus yang tidak semestinya.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Kepala STIN Sutjahjo Adi, lulusan STIN dididik untuk perang pikir dan bukan perang fisik. Maka sudah selayaknyalah bahwa para penggerak Islam dan ulama pada khususnya juga menyiapkan diri dan kadernya untuk perang pikir menghadapi informasi dan isu yang secara potensial menimpa ummat Islam. (muslimdaily.net)

Ibnu Syuhudi