05 November 2009

Mengapa Musibah Terus Mendera?


Oleh: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi

Sesungguhnya kami memuji Allah Tabaraka wa Ta'ala atas apa yang telah Dia siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan); mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama. Kami bersyukur kepada Allah Rabbil 'Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini.

Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa (andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta'mir Masjid Istiqlal yang telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling menolong yang terpuji secara syar'i. Allah Ta'ala berfirman:

“Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [Al- Maidah: 2]

Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya: Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia, dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah” [1]

Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya [2], merupakan bentuk syukur kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:

“Artinya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” [Ibrahim: 7].

Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman:

Artinya: "Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. [QS. an-Nahl:53]

Dan sebagaimana firman-Nya:

Artinya: "Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya”. [QS. an-Nahl:18]

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allah menimpakan adzab-adzab-Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allah, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allah 'Azza wa Jalla.

Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.

Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan [3]. Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.

Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya?. Apakah penyakitnya?. Dan apakah obat penyembuhnya?.

Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan. Karena, semua ini melimpah. Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini? Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allah Azza wa Jalla bagi umat ini.

Wahai saudara-saudara seagama,
Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik Allah Azza wa Jalla , dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.

Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial, hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan tali Allah, dalam upaya menjalin ta'awun (saling menolong) di atas kebajikan dan takwa. Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.

Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya Allah.

Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan” [4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan. Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku.
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu, agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai fakta. Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan musibah dan ujian akan semakin meningkat.

Ilmu syar'i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar Mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) atas setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Artinya: "Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim”.

Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.) mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar'i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya. Allah Ta'ala berfirman:

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. [QS. ar-Ra'd:11]

Sungguh, Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama. Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan kejadian ini, mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya: Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang menipu, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang terpercaya dianggap khianat, orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, dan ruwaibidhah akan berbicara,” para sahabat bertanya,"Apakah ruwaibidhah, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:"Seorang yang hina dan bodoh berbicara tentang urusan orang banyak".[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka, marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain, padahal dia sendiri sakit. Nabi bersabda tentang tabib yang mengobati badan:

Barangsiapa mengobati, sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan) keahlian dalam pengobatan, maka dia menanggung.[6].

(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama?. Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?.

Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allah, itu merupakan kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allah, itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal demi Allah, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain kesesatan saja?.

Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh. Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memimpin, dan tatkala ilmu berada di puncak pimpinan, keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi.

Setiap orang mengetahui bahwa Jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli Bid'ah dan ahli Ahwa' (orang-orang yang melakukan bid'ah dan mengikuti hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang rusak keyakinannya. Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas. Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara, lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran Syaqhab di Damaskus pada abad ke-8.

Beliau rahimahullah memerangi musuh-musuh Allah, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullah memandang ilmu dengan setinggi-tingginya. Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam ketaatan kepada Allah, dan dalam perkara yang ma'ruf (baik). Bukan bertolak dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa ilmu belakangan ini. Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya, tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama jihad, walaupun dengan nama syari'at; mereka ibarat jauh panggang dari api.

Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat, Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan- belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari'at. Karenanya, umat terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan kemundurannya, sampai Allah mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud, melainkan dengan taufik Allah 'Azza wa Jalla . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya: “Jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu”. [QS. al-Anfal: 29]

Artinya: "Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. [QS. ath-Thalaq: 4]

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.

Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan, bagaimanakah ciri khasnya?. Apakah tanda-tandanya?. Apakah sebuah ilmu yang merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan Kitabullah dan as-Sunnah?.

Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

Artinya: “Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku”. [8]

Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.

Bukankah waktunya sudah dekat?. Benar, demi Allah. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi.

Saudara-saudaraku seagama., demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu.

Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid'ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah Ittiba’ (mengikuti) Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman tentang beliau:

Artinya: “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”. [QS. an-Nur:54]

Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid'ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim al-Hilali pada pembahasan berikutnya.

Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya. Akhir perkataan kami adalah alhamdulillah RabbilDaftar Bernomor-'Alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Disunting dari Muhadharah di Masjid Istiqlal Jakarta, Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari]
__________
Foot notes
  1. Hadist ini kami dapati dengan lafazh: “Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, dia tidak mensyukuri Allah”. [HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan Ibnu Baththah, dari sahabat An-Nu’man bin Basyir. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam ash-Shahihah:6677]
  2. Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita
  3. Kafilah berasal dari bahasa Arab “Qafilah”, yaitu rombongan banyak orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya. Maksudnya, bahwa kaum muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun sekarang terbelakang.
  4. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Asari –hafizhahullah- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang termaktub dalam Shahih al-Bukhari: “ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba secara langsung, tetapi dia mencabut ilmu dengan meafatkan ulama. Sehingga ketika Allah pun tidak menyisakan seorang alim pun, lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan” [HR Bukhari:100]
  5. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Asari –hafizhahullah- secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami dapati adalah, salah satunya: “ Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar di dustakan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat, dan Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu’. Beliau ditanya: ‘Apakah Ruwaibidhah?’ Beliau menjawab, ‘Seorang yang hina lagi bodoh (berbicara tentang) urusan orang banyak” [HR Ibnu Majah:4036 dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
  6. Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR. Abu Dawud:4586, An-Nasa’i:4830, Ibnu Majah:3466. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani.
  7. Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran. Jaraknya dengan Damaskus adalah 37km. Dinukil dari Muqif Ibni Taimiyyah minal Asy’irah, hal.164
  8. Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik:2/899, no. 1661 dengan lafazh: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Silahkan lihat At-Ta’zhim wal Minnah di Intisharis Sunnah, hal. 13-14, karya Syaikh Salim al-Hilali.