19 November 2009

Gerilya Kelompok Liberal dan Homo Menolak Qanun Jinayat Aceh



Jakarta - Di tengah perhatian masyarakat yang semuanya tertuju pada kisruh perseteruan KPK versus Polri, diam-diam LSM-LSM liberal mendatangi Departemen Dalam Negeri untuk melakukan audiensi dan memberikan pernyataan sikap yang menolak Qanun Jinayat Aceh pada Kamis (5/11). Kedatangan beberapa LSM tersebut nyaris sepi dari liputan media massa. Maklum, media masih terfokus pada isu yang lebih “seksi” tentang perseteruan KPK vs Polri.

Sebelumnya, beberapa LSM diantaranya Kontras, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute, Gaya Nusantara, Kapal Perempuan, AKKBB, Wahid Institute, Jaringan Islam liberal, Elsham, dan lain-lain menolak keberadaan qanun tersebut yang disahkan pada 14 September 2009. Bagi mereka, keberadaan qanun ini melanggar Konvensi Internasional Anti-Penyiksaan yang sudah disahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 1998.

Qanun yang mengatur soal hukuman rajam dan cambuk terhadap pelaku zina, liwath (gay), muhasaqah (lesbi), khalwat (berduaan dengan yang bukan mahram), judi, khamar, dan lain-lain itu dianggap merendahkan martabat kemanusiaan dan melanggar HAM. “Hukum rajam itu menurunkan martabat manusia. Benar Aceh berlaku syariat Islam, tapi apapun dasarnya, harus tetap diletakkan dalam kerangka nasional. Dan hukum dibuat tidak boleh melanggar hukum nasional,” ujar Ifdhal Kasim, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia beberapa waktu lalu.

Dalam audiensi dengan Depdagri itu, para wakil dari beberapa LSM mendesak presiden untuk mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membatalkan Qanun Jinayat tersebut. Mereka juga mempertanyakan posisi qanun tersebut yang hanya ditandatangani DPR Aceh, tidak ditandatangani oleh Gubernur NAD, Irwandi Yusuf. Seperti diketahui, Gubernur NAD Irwandi Yusuf dan Wakilnya Muhammad Nazar menolak qanun tersebut. Irwandi yang mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Muhammad Nazar yang mantan aktivis LSM SIRA meminta pengesahan qanun itu dipertimbangkan kembali. Irwandi bahkan mengirim surat ke Depdagri yang intinya meminta klarifikasi atas kesepakatan qanun tersebut. "Kami mendesak Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden untuk pembatalan Qanun Jinayat sesuai dengan peraturan yang berlaku,"ujar Sri Endras Iswarini, salah seorang perwakilan dari Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan.

Sementara itu Kepala Penyusunan dan Perencanaan Perundang-undangan Biro Hukum Depdagri, Zudan Arif Fahrullah mengatakan bahwa qanun tersebut tidak bisa dibatalkan karena termasuk undang-undang yang bersifat represif.”UU represif harus dibatalkannya melalui Kepres. Depdagri hanya bisa membatalkan UU preventif seperti pajak, retribusi dan lain-lain,” tegas Zudan. Meski begitu, kata Zudan, Mendagri akan mengambil langkah terkait masalah ini.

Penolakan Kaum Homo

Selain para aktivis liberal, penolakan terhadap Qanun Jinayat yang berlaku di Aceh juga disuarakan para pelaku gay dan lesbian alias komunitas hombreng dan lesbong. Penolakan tersebut mereka lakukan dalam bentuk mengadakan seminar publik bertajuk “Qanun Jinayat:Masihkah Relevan untuk Indonesia” dan kampanye internasional untuk mempromosikan HAM di kalangan Muslim penganut seks sesama jenis dengan tema “One Day, One Struggle”.

Seminar publik dan kampanye internasional tersebut diselenggarakan pada hari Senin (9/11) di Gedung SAS IAIN Sunan Ampel Surabaya. Acara ini diselenggarakan oleh the Coalition for Sexual and Bodily Rights in Muslim Societies (CSBR) yang terdiri dari 20 LSM, diantaranya Gaya Nusantara, sebuah LSM yang memperjuangkan hak-hak kaum Homo di Indonesia. Selain seminar dan kampanye, mereka juga akan mengadakan aksi demonstrasi dan mengajak masyarakat untuk peduli terhadap hak seksualitas kaum homo.

Seminar publik yang juga terselenggara atas dukungan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham-Ubaya) ini menghadirkan pembicara diantaranya Muhammad Guntur Romli, pentolan AKKBB yang juga aktif di Jurnal Perempuan. Guntur selama ini juga dikenal sebagai aktifis liberal yang kerap bersuara lantang menolak perda-perda anti-maksiat, termasuk membela hak-hak pengikut kaum Nabi Luth tersebut.

Kampanye hak seksual dan reproduksi ini—yang di Indonesia dibarengi dengan kampanye penolakan Qanun Jinayat, juga dilakukan secara serentak di beberapa negara seperti Bangladesh, Lebanon, Sudan, Mesir, Turki, Tunisia, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Mereka serentak melakukan aksi di jalan-jalan untuk menyatakan sikap mereka terhadap seksualitas dan reproduksi. CSBR, koordinator acara tersebut adalah sebuah jaringan NGO internasional yang berada di beberapa negara di Timur Tengah, Asia Tenggara dan Selatan, dan Afrika Utara.

Bukan kali ini saja kelompok homo membawa-bawa nama Islam dalam kampanye mereka. Sebelumnya, isi hak-hak homoseksualitas di negara-negara Muslim juga menjadi proyek yang diusung oleh LSM-LSM barat. Bahkan, untuk memuluskan program mereka, dibuat sebuah film yang berisi tentang percintaan sepasang homo Muslim yang berjudul “A Jihad for Love”. Film ini diterjemahkan ke beberapa bahasa dan disebarkan ke berbagai negeri Muslim. Di Aceh, beberapa waktu lalu sempat terjadi penggerebekan terhadap sebuah tempat yang diduga sebagai markas berkumpulnya para gay.

Tidak Melanggar HAM

Dosen Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniri Banda Aceh yang juga mantan Kepala Dinas Penegakkan Syariat Islam, Dr Alyasa Abu Bakar menyatakan bahwa penolakan para aktivis LSM tersebut tidak beralasan. Alyasa menegaskan, pembuatan Rancangan Qanun tentang Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat itu sudah menampung aspirasi seluruh komponen rakyat Aceh. “Kalau mereka menolak, apa alasan mereka?. Pasal mana yang ditolak. Ini penolakan mereka tidak beralasan,”tegasnya.

Dukungan terhadap qanun ini juga disuarakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail. Dalam keterangannya, Mawardi mengatakan bahwa Qanun Jinayat ini tidak melanggar hak asasi manusia dan tidak melanggar undang-undang yang berlaku secara nasional.“Semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM,” kata Mawardi. (voa-islam.net)