04 February 2010

Etika Penyelenggara Negara

Koruptor = Penjahat = Hama

Indonesia Monitor - Etika telah naik ke pentas politik nasional. Pengusungnya Jenderal TNI (Pur) DR H Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI paling santun sepanjang sejarah. Dengan modal kesantunan itu, ia berhasil memenangi pilpres 2004 dan 2009. Sejak itu, etika dan kesantunan kemudian menjadi idiom baru politik kita.

Etika dan kesantunan jadi menu utama di panggung politik nasional karena sejak reformasi digulirkan pada 1998 hingga 2003, pentas politik kita bising oleh hiruk-pikuk teriakan dan makian di antara elite politik. Maklum, kita baru menikmati kebebasan yang dikemas dalam demokrasi. Cuma karena demokrasi kita tak kunjung produktif, masyarakat pun bosan.

Akan tetapi karena sepanjang era “politik santun yang beretika” itu juga tidak menghasilkan apa-apa bagi rakyat kebanyakan, masyarakat pun mulai bosan. Apalagi, justru di “zaman politik santun” inilah lahir markus sejenis Anggodo. KPK dibungkam dengan mengkriminalisasi dua pimpinannya, Bibit dan Chandra. Sementara rakyat kecil seprerti Prita dan Mbok Minah disikapi secara tegas oleh aparat hukum.

Di era pemerintahan yang santun ini pula muncul skandal keuangan terbesar dalam sejarah Republik Indonesia pasca Orba. Para penyelenggara negara, dengan penuh etika dan sopan santun, bahkan pakai rapat segala, merekayasa kebijakan bailout Bank Century untuk merampok uang negara Rp 6,7 triliun.

Ketika para penyelenggara negara yang bertanggungjawab atas penggelontoran uang rakyat kepada para perampok itu diperiksa Pansus DPR, semuanya jadi tampak “lebay”. Seolah tidak tahu bahwa yang telah mereka lakukan itu adalah kejahatan, perbuatan kriminal. Dan lebih celaka lagi, mereka tidak tahu bahwa uang sejumlah Rp 6,7 triliun itu adalah uang negara, uang kita-kita rakyat Indonesia.

Padahal menurut kita, yang tidak mengenyam pendidikan setinggi Menkeu Sri Mulyani dan Boediono, kalau yang digelontorkan itu bukan uang negara, kena juga harus dirapatkan di Depkeu, dihadiri para pejabat lembaga negara, dan dipayungi Perppu yang ditandatangani Presiden RI...?

Makanya, masuk akal bila beberapa anggota Pansus skandal Bank Century jengkel melihat orang-orang yang patut dapat diduga terlibat dan menjadi otak perampokan uang rakyat itu terlohok-lohok, lebay. Ada juga yang “mendadak relijius” seperti terjadi pada Sri Mulyani, yang lebih asyik dengan tasbihnya ketimbang pertanyaan-pertanyaan anggota Pansus!

Ketika nada pertanyaan para anggota Pansus itu dipertinggi, eh mereka berubah dan tampak seolah-olah jadi orang-orang yang teraniaya. Sehingga Presiden Yudhoyono, bos mereka, merasa iba. Presiden pun lalu mengeluhkan sikap anggota Pansus yang, katanya, “tidak menggunakan etika” saat memeriksa para saksi.

Di tengah eforia etika dan kesantunan itu, sekonyong-konyong bertiup angin kencang dari LP Pondok Bambu, tepatnya, dari sel mewah Artalyta Suryani alias Ayin, terpidana kasus suap paling menggegerkan itu.

Teman saya Boni Hargens curiga isu sel mewah ini merupakan pengalihan isu Pansus Bank Century. Apalagi Denny Indrayana, orang kepercayaan Presiden, bagian dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang menyidak LP itu.

Tapi saya lebih curiga kepada Menkum HAM Patrialis Akbar, bos LP seluruh Indonesia. Jangan-jangan isu sel mewah itu merupakan pesan untuk rekan-rekannya yang diperiksa Pansus skandal Bank Century. Maksudnya, agar jangan takut bila nanti apes jadi terpidana dan masuk penjara, penjaranya sekarang sungguh mewah.

Untuk kelas Menkeu dan Wapres tentu lebih mewah dari sel Ayin...! ■