25 February 2010

Kebenaran Kaum Pluralis dan Kesia-siaan Tuhan


Oleh: Zarnuzi Ghufron (mahasiswa Fakultas Syariah, Universitas Al-Ahqoff, Hadramaut, Yaman, dan koordinator Forum Kajian Ilmiah di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman wilayah Hadramaut)

Pada dasarnya kita semua sepakat dengan tujuan utama kaum pluralis-liberal. Mereka ingin mewujudkan sikap saling menghormati dan toleransi di antara umat beragama. Bahkan bukan hanya antar-agama saja, tapi juga yang lain, seperti: antar negara, bangsa, suku, ras, dan yang lainnya. Karena ini yang diajarkan Islam. Tapi sayang, kaum pluralis menempuh jalan yang salah untuk mewujudkan tujuan mereka. Mereka menyempitkan diri dengan berfikir bahwa menghormati agama harus dengan cara menbenarkan semua agama, dengan alasan bahwa semua agama pada dasarnya sama. Yakni mengajarkan kebaikan, mengabdi kepada Tuhan, walaupun setiap agama berbeda penafsiran tentang-Nya. Sehingga mereka memiliki semboyan, "satu Tuhan seribu tafsir" dan –menurut mereka-- sikap merasa bahwa agama sendiri paling benar akan memunculkan sikap tidak menghormati agama lain.

Penilaian kebenaran sebuah agama telah mereka persempit dengan alasan-alasan tersebut. Sehingga seolah wilayah agama hanya terbatas dalam wilayah tersebut. Adanya persamaan di semua agama dalam mengajarkan kebaikan, seperti menghormati orang tua, saling membantu, melarang berbohong, mencuri, dan lain-lain, tidak bisa dengan sendirinya bisa menjadi justifikasi bahwa ajaran semua agama adalah benar.

Begitu juga dalam hal sama-sama ingin menyembah Tuhan. Bagi Islam, untuk membenarkan sebuah agama membutuhkan kajian yang sangat panjang, tidak sesempit yang difikirkan kaum pluralis. Di sini kita tidak perlu memperdebatkan ajaran untuk berbuat baik dengan sesama manusia yang diajarkan oleh semua agama. Kita hargai hal itu, bahkan bukan atas dasar agama pun harus kita hargai (selama tak bertentangan dengan syariat). Walaupun kita tidak membenarkan agama tersebut.

Di dalam masalah persamaan tujuan ingin mengabdi kepada Tuhan, ada yang menjadi pertanyaan bagi kita. Apakah hanya dengan sebuah tujuan saja mampu menjadi dalil kebenaran sebuah agama dengan sendirinya. Tanpa melihat: apakah yang dituju memang sudah benar, cara yang ditempuh, dalil atau dasar yang digunakan, dan apakah dalil tersebut juga benar-benar dapat dipertanggung-jawabkan?

Semisal, ada dua orang asal Jawa Timur ingin pergi ke Jakarta, masing-masing ingin berangkat sendiri-sendiri. Yang satu naik travel jurusan Jakarta dan dia akhirnya sampai di Jakarta, karena dia mendapat petunjuk tentang rute tersebut dari sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan. Berbeda yang satunya lagi. Yang ini naik kapal laut dan travel jurusan Irian Jaya, tapi dengan maksud menuju Jakarta, karena dia tidak tahu atau mendapat sumber yang salah tentang rute Jatim-Jakarta. Apakah dengan demikian kita akan mengatakan bahwa keduanya sama-sama benar? Dan telah sampai serta sesuai tujuan, karena melihat tujuannya sama, menuju Jakarta. Begitu pun dalam menyembah Tuhan.

Kaum pluralis dengan pemahaman yang dia miliki, ingin mencoba menghilangkan kontradiksi antaragama dengan membenarkan semua agama dan keyakinan. Pemikiran ini sebenarnya ingin menghilangkan kontradiksi, akan tetapi malah memunculkan ragam kontradiksi. Membenarkan semua hal yang saling kontradiksi adalah hal yang tidak masuk akal.

Kita ambil contoh tiga agama terbesar di dunia dalam memahami Tuhan --karena masalah Tuhan adalah hal yang paling fundamental dalam kehidupan beragama. Islam meyakini Tuhan itu hanya satu, tidak beranak dan juga tidak diperanakkan. Yahudi meyakini Uzair selain sebagai anak Allah, juga meyakininya sebagai Tuhan, sehingga Tuhannya pun ada dua: Allah dan Uzair. Dan Nasrani dengan Trinitasnya meyakini bahwa Tuhan dikonsepkan menjadi 3 oknum, yaitu: Tuhan Bapa (God the Father), Tuhan anak (Jesus the Christ), dan Tuhan Roh Kudus (The Holy Spirit). Ketiga-tiganya di dalam keyakinan mereka merupakan sehakikat dan satu dalam kesatuannya. Dari tiga agama yang berbeda ini, semua mempunyai penafsiran yang berbeda dan saling kontradiktif tentang siapa Tuhan, sehingga tidak bisa dipertemukan menjadi satu buah kesimpulan. Karena sifat kontradiksi adalah, antara yang satu dengan lainnya saling membatalkan. Orang yang meyakini semuanya benar, sama dengan berkeyakinan: "bahwa Tuhan itu hanya satu, juga dua, juga tiga. Tidak beranak, juga beranak, dan tidak diperanakkan, juga diperanakkan".

Konsep Keyakinan dan Kabar Shodiq

Setiap orang yang telah memiliki keyakinan tentang Tuhan dengan konsep tertentu, akan tetapi dia kemudian meyakini konsep yang lain --yang kontradiksi dengan konsep yang telah dia yakini--, maka dia sama dengan telah membatalkan keyakinan awal yang dia yakini. Karena keduanya tidak mungkin menyatu, akan tetapi yang mungkin adalah saling membatalkan.

Melihat objek yang dikaji satu, yaitu siapa itu Tuhan, sekarang kita bertanya, dari mana ketiga agama tersebut mendapat informasi tentang Tuhan, dan apakah sumber informasi tersebut dapat dijadikan pegangan?

Untuk mengetahui sesuatu yang bersifat material dan dapat dirasa, maka kita mencukupkan dengan panca indera. Dan untuk yang bersifat metafisik (ghaib) atau yang tak kita ketahui secara langsung, baik yang telah terjadi atau akan terjadi, maka cukup dengan informasi yang dapat dipercaya (al-khobar al-masduq).

Seperti adanya perang Salib, kita tak melihatnya secara langsung, tapi kita bisa yakin bahwa perang Salib memang pernah terjadi, karena ada berita yang dapat dipercaya sehingga kita bisa yakin bahwa informasi itu benar. Begitu juga tentang perkara yang ghaib, seperti adanya Tuhan, malaikat, syaitan, surga, neraka, dan perkara yang akan terjadi, seperti Hari Kiamat, Yaumul Hisab, kita sekarang tidak mengetahuinya kecuali dari sebuah kabar yang benar-benar dapat dipercaya atau meyakinkan, yaitu dari Al-Quran dan hadis mutawatir.

Tuhan adalah Dzat yang ghaib, semua agama meyakini adanya. Akan tetapi semua saling berbeda keyakinan mengenai sifat-sifat dan siapa itu Tuhan, dan pengetahuan mereka tentang Tuhan semuanya diperoleh dari informasi yang mereka dapat, karena semua tidak melihat Tuhan secara langsung. Kaum Nasrani mengetahui Tuhan dengan trinitasnya lewat Injil. Kaum Yahudi mengetahui Uzair sebagai Tuhan dan anak Allah lewat Taurat, orang Islam mengetahui Tuhan hanya Allah lewat Al-Quran. Dari ketiga agama tersebut semua mendapat informasi tentang Tuhan lewat kitab suci masing-masing. Dan masing-masing mengatakan bahwa kitab suci mereka berasal dari utusan Tuhan.

Dan kini, sejarah telah membuktikan, Taurat sudah tidak asli lagi, begitupun Injil. Dan ini diakui oleh kalangan teolog Kristen sendiri, setelah melakukan penelitian bahwa Injil sudah tidak asli lagi dan menjadi beragam versinya, dan isinya saling bertentangan. Dan hanya Al-Quran yang tetap terjaga keasliannya sampai sekarang.

Dengan ini, Injil dan Taurat (versi sekarang) telah gagal menjadi sumber informasi tentang Tuhan. Bagaimana kita akan meyakini kebenaran isinya, sedangkan kitabnya saja sebagai sumber informasi bermasalah dan tak meyakinkan bahwa keduanya memang benar dari Nabi utusan Tuhan, seperti yang kaum Nasrani dan Yahudi dakwakan. Adalah keyakinan rapuh yang dibangun di atas sumber informasi yang rapuh dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Lalu kenapa harus dibenarkan?

Dari tiga model pemahaman tentang Tuhan yang saling kontradiktif tersebut, sekarang kita bisa mengambil kesimpulan, mana sumber informasi tentang Tuhan yang harus dijadikan pegangan, dengan melihat keorisinilan kitab suci tersebut, dan kita tidak perlu lagi melihat kontradiksi yang ada. Siapa yang salah menilai siapa itu Tuhan, maka telah salah dalam menemukan Tuhan. Salah membawa alamat, berkonsekuensi tidak akan menemukan yang dicari dan tidak perlu dinilai benar.

Saya yakin, kaum pluralis di dalam kehidupan sehari-hari mereka selektif ketika menerima berita, sebagai tabiat kaum terdidik, dengan memilih sumber infomasi yang kuat dan dapat dipercaya, agar mendapat berita yang benar. Tapi sayang, mereka tak mampu menerapkannya di dalam memahami kebenaran informasi yang digunakan semua agama. Sehingga agama yang dibangun atas dasar sumber informasi yang kuat ataupun yang rapuh, tiada bedanya bagi mereka.

Islam dan Syariat Para Nabi

Keterkaitan dakwah Nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya adalah untuk saling menguatkan dan menyempurnakan. Dan yang mereka dakwahkan semua terdiri atas dua pokok: pertama, akidah dan kedua syariat dan akhlak. Syariat adalah untuk membentuk hukum guna mengatur kehidupan masyarakat dan individu. Setiap umat para nabi mempunyai syariat sendiri-sendiri, seperti: syariat Nabi Musa as., syariat Nabi Isa as., dan syariat Nabi Muhammad saw. Setiap syariat yang baru menghapus syariat sebelumnya, sehingga syariat Nabi Muhammad adalah syariat terakhir untuk manusia hingga datang hari Kiamat. Adanya perbedaan di dalam syariat, karena syariat adalah jenis pengadaan (nau'ul insa') sehingga dibedakan antar-umat dengan umat yang lainnya, dengan melihat perbedaan zaman dan kondisi umat para nabi waktu itu. Karena tujuan pokok syariat adalah kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.

Adapun masalah akidah, di antara semua nabi tidak ada perubahan dan perbedaan, mulai dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw. Semua mengajak untuk mengesakan Allah dan mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang tak patut bagi-Nya, iman kepada para nabi, Hari Akhir, hisab, surga, dan neraka. Dan setiap mereka membenarkan dakwah nabi sebelumnya dan memberi kabar akan datangnya nabi setelahnya.

Kesamaan akidah para nabi ini karena akidah adalah jenis berita/informasi (nau'ul ikhbar), seperti kabar bahwa Tuhan hanya satu, yaitu Allah dengan segala sifat yang Dia miliki, kabar adanya Hari Kiamat, hisab, surga, neraka, dll. Dan sebuah berita yang dapat dipercaya dan dibenarkan adalah berita yang isinya tidak saling berbeda dan bertentangan di antara pembawa berita yang berbeda-beda, dan mereka semua telah dimaklumi sebagai orang yang jujur. Seandainya ada sebuah berita yang dibawa oleh banyak orang dan isinya saling kontradiktif, maka berita tersebut tidak dapat dipercayai. Maka tidak masuk akal, seandainya salah satu Nabi mengabarkan bahwa Tuhan itu tiga, yang lain mengatakan dua, dan lainnya lagi mengatakan satu, dan semuanya saling membenarkan pernyataan yang satu dan yang lainnya. Dan bagaimana juga kita akan mengimani bahwa sumbernya satu, wahyu dari Tuhan, seandainya isinya saling bertentangan.

Ketika Allah mengutus para nabi, semua kaum telah memiliki sesuatu yang mereka anggap Tuhan. Akan tetapi tidak ada yang dilakukan oleh semua nabi kecuali mengajak untuk meninggalkan apa yang mereka anggap Tuhan dan mengajak manusia untuk hanya bertuhan kepada Allah, mengesakan-Nya dan mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang tak patut bagi-Nya.

Seandainya teori pluralisme agama (teori bahwa semua agama benar) dan dibenarkan oleh Allah, maka Allah telah melakukan kesia-siaan (Maha Suci Allah dari kesia-siaan atas apa yang Dia lakukan), karena Dia mengutus rasul pada umat yang telah memiliki sesuatu yang dianggap Tuhan, dan semuanya saling berbeda penafsiran. Wallahu a'lam bisshowab (hidayatullah.com)