07 February 2010

Kalau Mau Bunuh Saya, Bunuh Saja Sekarang

Susno Duadji

Siapa sangka Susno Duadji datang ke pengadilan untuk bersaksi (atas inisiatif sendiri) seputar kasus Antasari Azhar. Kontan saja tindakannya ini membuat Polri kelabakan. Setelah dimutasikan (dari Kabareskrim menjadi Pati), ancaman sanksi berikutnya sudah di depan mata. Gentarkah Susno? Berikut wawancara Indonesia Monitor di kediamannya, Minggu (10/1).

Ancaman sanksi berat sudah menanti Anda hanya gara-gara bersaksi di pengadilan. Sebelumnya pernah mengalami hal ini?
Nasib seperti ini (pencopotan jabatan) bukan pertama kalinya terjadi. Sejak letkol saya sudah beberapa kali dicopot dari jabatan karena tidak sepaham dengan hal-hal yang saya anggap tidak reformis di tubuh kepolisian.

Apakah Anda kecewa dengan perlakuan institusi?
Tentu tidak. Karena saya tidak kecewa, ya (saya anggap) itu kan kewenangan mereka. Kalau saya tidak sama frekuensinya dengan mereka, ya saya yang minggir. Tidak bisa saya paksakan. Kenapa? Menurut saya yang dimaksud dengan reformasi polisi, polisi itu harus berubah. Mindsetnya juga harus berubah. Sikap, mental, attitude, semuanya harus berubah. Contohnya, biasanya polisi senang memanggil, ya kita ubah menjadi mendatangi atau mengunjungi. Terus, senang ceramah sama orang, kita ganti dengan mendengarkan keluhan.

Kemudian, pemimpin yang senang dilayani. Jadi kalau komandan datang, harus dilayani. Dibalik dong, kita (pimpinan) yang harus melayani keperluan dan kesulitan dari anak buah. Itulah tugas pimpinan. Nah, kebanyakan kan terbalik. Pimpinan dilayani oleh anak buah. Lalu anak buah setor duit ke atasan. Ini kan sudah tidak benar.

Menurut Anda reformasi Polri saat ini sudah berjalan baik atau belum?
Saya kan polisi saat ini, maka saya tidak mau menilai. Figur reformasi itu berada di pimpinan. Supaya reformasi berjalan, mulai dari orang nomor satu di Mabes Polri, polda, polres, atau polsek. Pimpinan juga harus konsekuen. Maksudnya satu kata dan satu tindakan. Jika begitu, barulah anak buahnya akan mengikuti. Jenderal dulu yang menaati hukum, baru kopralnya patuh. Reformasi itu tidak perlu pakai pidato. Kalau kita dipanggil pengadilan untuk bersaksi, ya harus hadir. Masak tukang becak saja hadir kalau dipanggil sidang, kok jenderal malah tidak hadir.

Di mata Anda, bagaimana sosok Kapolri Bambang Hendarso Danuri?
Saya menilai beliau seorang reformis. Karena dia pernah ngomong, ‘Mari kita reformasi kepolisian supaya bagus.’ Kata-kata itu saya pegang. Karena saya yakin kalau jenderal yang bicara, apalagi bintang empat, pasti dia tidak akan munafik. Satu kata, satu perbuatan. Kalau ada anak buahnya dipanggil untuk sidang ke pengadilan, pasti Pak Bambang sangat senang.

Apa yang saya ketahui dan sampaikan, saya yang harus bertanggung-jawab. Tanggung-jawab kepada siapa? Pertama, Tuhan karena telah disumpah saat pengadilan. Kemudian kepada hukum. Kalau saya bohong, maka akan dituntut karena memberi kesaksian palsu.

Jika Anda tidak dimutasi, mungkinkah Anda bakal datang ke persidangan untuk bersaksi?
Ya harus. Tidak menjabat saja berani apalagi kalau menjabat. Itu bukan masalah berani atau tidak. Itu suatu kewajiban.

Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan) Mabes Polri akan memberi sanksi. Anda siap?
Kalau diberi sanksi, siapa yang tidak siap? Sanksi itu kan diberikan melalui pemeriksaan yang benar, independen dan transparan. Makanya kita harus patuhi kalau saya salah. Tetapi saya yakin kepolisian tidak akan melakukan hal itu.

Kenapa begitu yakin?
Itu kan hanya rumor saja. Begini, apakah seseorang yang memberikan kesaksian di pengadilan dilarang? Apakah seseorang memberikan kesaksian harus izin, tergantung baju yang dipakai, harus di luar jam dinas? Apakah baru kali ini seorang polisi memberikan kesaksian di persidangan? Apakah karena itu mereka dipersoalkan? Tidak kan.

Apa saja fasilitas yang sudah ditarik Polri?
Ditariknya fasilitas buat saya tidak ada kaitannya dengan saya memberi kesaksian. Sebetulnya, komandan Brimob dan Densus 88 merencanakan penarikan fasilitas sudah lama. Hanya kebetulan mereka kurang koordinasi mau menarik fasilitas sama-sama. Kebetulan saja tanggalnya sama, jamnya sama. Kebetulan juga hari itu saya bersaksi.

Saya sih punya pikiran pasti ada pertimbangan baik dari komandan tersebut. Misalnya sopir ditarik. Pasti sopir itu mau dipakai di tempat lain. Susno kan sudak tidak menjabat lagi, jadi tidak perlu disopiri.

Kata orang mereka akan menyerang rumah saya. Tidak benar. Mungkin mereka kebetulan habis latihan terus mau silaturahmi. Saya kan komandan reserse yang membawahi Densus 88. Karena sudah lama tidak silaturahmi, malam-malam datang ke rumah, kebetulan tidak ketemu.

Kalau niatnya silaturahmi, mengapa datang malam hari dan berpakaian lengkap?
Mereka mau menunjukkan bahwa pakaian mereka rapi-rapi dan bagus-bagus. Tidak salah kan menunjukkannya kepada saya? Mengapa mereka datang malam hari, mungkin kalau siang mereka latihan, sibuk.

Ada yang mengatakan Anda sulit dipecat kepolisian karena memiliki kartu truf yaitu menyimpan nama 15 rekening Pati Polri yang diduga memiliki transaksi mencurigakan?
Tidak benar saya punya kartu truf. Wong saya tidak suka main kartu, kok, ha-ha-ha.

Anda kan dulu sempat menjadi Wakil Ketua PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan)?
Memang. Tapi tidak punya kartu truf itu. Saya orang lemah yang tidak punya kartu truf untuk “memukul” orang. Tidak ada itu.

Propam sudah membentuk tim khusus untuk mencari kepentingan di belakang kesaksian Anda dan akan mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tanggapan Anda?
Ini adalah penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court. Nah, inilah yang tidak reformis. Jika dunia internasional tahu, pasti ini akan geger. Ketua Majelis Hakim datang ke pengadilan saja, Presiden harus begini (Susno lantas berdiri lalu membungkukkan badan). Itu lambang kehormatan.

Benarkah Anda pernah mengirim email ke pemimpin redaksi berbagai media yang berisi kekecewaan terhadap pemberitaan negatif soal kasus Bank Century?
Begini. Kalau saya mengirim email, selalu isinya pendek. Waktu saya diserang dulu, saya namakan masa penghancuran masa, yakni saya tidak boleh menanggapi sebuah berita. Saat itu juga saya dikira menangani kasus KPK. Akhirnya terbukti bukan saya yang tangani melainkan dicitrakan seolah-olah saya yang menanganinya. Sayangnya, yang beredar (pernyataan) yang panjang. Saya SMS ke Pak Jacky (Mardono Tjokrodiredjo, Lurah Keluarga Besar Polri) saja, kok berubah menjadi email yang panjang. Saya pernah dapat SMS soal KPK (isinya bernada ancaman terhadap KPK-Red). Saya forward ke adik kelas saya, Suaedi Husein (Direktur Penyidikan KPK). Ternyata dia sebelumnya juga sudah dapat. Karena saya yang forward, lalu diisukan menjadi SMS dari Susno Duadji. (Saking kesalnya) saya sampai bilang, ‘Kalau mau bunuh saya, sudahlah bunuh saja sekarang.’ Saat itu saya sudah suruh humas untuk membantah tapi justru tidak dibantah.

Sejak itu saya tidak boleh ketemu wartawan. Sehingga, figur saya di media menjadi sosok angker, congkak, angkuh, sombong, egois, tidak bisa ditemui, dan tertutup.

Menurut Anda, reformasi Polri seperti apa?
Pertama, polisi yang bersikap antara ucapan dengan perbuatannya, sama. Kedua, dia tidak menyusahkan orang. Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit. Kemudian, tidak banyak ngomong. Bekerja. Lalu, tidak banyak memanggil orang, tidak minta dilayani tetapi melayani.

****


Antasari Masukkan Testimoni Susno dalam Pledoi

Jakarta - Tersangka dugaan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Antasari Azhar hari ini, Kamis, (28/1) membacakan pledoinya. Dalam pledoinya, Antasari memasukan testimoni Susno Duadji terkait adanya pemaksaan penyidikan kasus pembunuhan Nasrudin.

"Iya dan paling tidak kesaksian beliau (Susno) kemarin juga kita gunakan di dalam pembelaan hari ini," ujar kuasa hukum Antasari Machdir Ismail di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ia mengatakan, mantan ketua KPK itu akan membacakan pledoinya yang berjumlah 622 halaman. "Jumlahnya untuk pledoinya saja 622 halaman, ditambah lampirannya ada sekitar 700-an halaman," katanya.

Sebelumnya, dalam dokumen testimoni mantan Kabareskrim Susno Duadji yang diserahkan ke Pansus Century. Dalam dokumen itu, Susno menuliskan, tim yang dibentuk Kapolri Bambang Hendarso Danuri tak menemukan bukti untuk mengungkap motif pembunuhan Nasrudin. Berikut tulisan lengkapnya;

Awal mulai Penyidikan kasus pimpinan KPK dimulai dari keinginan Kapolri untuk mengungkap apa motif sebenarnya pembunuhan Nasrudin, kemudian Kapolri menunjuk Wakabereskrim Irjen Pol Drs. Hadiatmoko mengkoordinir penyelidikan dan Penyidikan motif pembunuhan Nasrudin, kemudian Irjen Pol Drs. Hadiatmoko membentuk 5 (lima) Tim.

Setelah beberapa bulan kemudian kelima Tim tersebut bekerja tidak menemukan bukti untuk mengungkap motif pembunuhan, namun Kapolri sudah terlanjur melaporkan kepada Presiden tentang adanya kejahatan suap yang melibatkan Pimpinan KPK sebagai motif terjadinya pembunuhan Nasrudin.

Kapolri merasa malu kalau laporannya tersebut tidak bisa dibuktikan, untuk itulah Kapolri memerintahkan Tim Penyidik yang sudah dibentuk untuk mencari kasus yang dapat dibuktikan guna menjerat pimpinan KPK.

Selanjutnya Tim Penyidik mendapat kasus sebagaimana yang bergulir saat ini yang menyebabkan kontroversi.

Penyidikan sepenuhnya di bawah kendali Kapolri. Kabareskrim tidak diberi peran signifikan kecuali atas perintah Kapolri.

Anehnya TPF atau Tim 8 menuntuk Kabareskrim Komjen Pol SD dinonaktifkan sebagai pertanggung-jawaban Penyidikan Pimpinan KPK, CH dan BSR.

Adilkah ini?. Seorang Bhayangkara sejati tidak akan mempersoalkan adil atau tidak, dan hanya berharap tidak terjadi pada Bhayangkara yang lain. (inilah.com)