04 February 2010

Indonesia Tak Memerlukan Pluralisme

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara tiba-tiba dari hati-hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mencabut nyawa para ulama satu demi satu. Sampai datanglah suatu saat ketika tidak ada lagi orang yang alim maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh-bodoh. Maka mereka pun ditanya tentang berbagai masalah, kemudian merekapun berfatwa tanpa ilmu. Sehingga mereka sendiri sesat dan juga menyesatkan orang lain.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Pluralisme sebenarnya bentuk tipu-daya Barat untuk menghilangkan identitas Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia

Pluralisme di Indonesia saat ini bukan lagi sekedar wacana tapi telah merangsek menjadi gerakan aksi. Lebih dari itu pengasong paham pluralisme di Indonesia nampak begitu bersemangat untuk mewujudkan konstruk sosial yang mereka khayalkan.

Hal ini bisa dilihat dari upaya LSM AKKBB baru-baru ini yang menghendaki pencabutan UU pelarangan penistaan agama ke Mahkamah Konstitusi. Apa sebenarnya pluralisme masih banyak orang yang belum memahami secara mendalam. Secara historis pluralisme merupakan hasil perjalanan panjang dari masa modernisme dan postmodernisme pada kultur Barat. Demikian penjelasan Hamid Fahmy Zarkasy, Ph.D, dalam diskusi interaktif kemarin di Gedung Insani Press (GIP) Kalibata Jakarta Selatan.

"Berbicara pluralisme kita harus mengerti asal-usul paham tersebut muncul. Ini berarti secara mutlak kita mesti mengerti pandangan hidup dan sejarah Barat itu sendiri. Sebab pluralisme bukan sekedar konsep tapi konstruk budaya Barat yang traumatic dengan hegemoni gereja dan pada saat yang sama merebaknya sikap intoleransi antar sekte dalam Kristen yang berlangsung berabad-abad lamanya. Awalnya bukan pluralism yang didagangkan tapi sekularisme. Namun setelah dinilai gagal maka pluralisme pun hadir sebagai penggantinya" , ujar Hamid.

Menurut Hamid, secara konseptual, antara masa modernisme dengan masa postmodernisme terjadi suatu pergeseran paradigma yang sangat luar biasa. Jika modernisme identik dengan paham sekularis dan saintifis-nya maka postmodernisme hadir dengan ciri kebebeasan dan anti kemapanan.

Modernisme dengan cara berpikir saintifiknya, sementara itu postmodernisme tidak lagi menjadikan logika formal modernisme sebagai suatu hal yang berharga alias tidak lagi berlaku. Postmodernisme lebih menekankan pada aspek pemaknaan kata-kata (logika bahasa) yang sasarannya tidak lain untuk melakukan dekontruksi makna sebagaimana dikenalkan oleh Derrida. Lebih jelasnya postmodernisme menghendaki perubahan cara berpikir formal dengan pemaknaan kata-kata dengan semangat dekkontruksi terhadap kemapanan.

Logika bahasa mengandung spirit nihilisme dan relativisme yang mana keduanya menjadi akar lahirnya pluralisme dan liberalisme. Sebagaimana spirit nihilisme dan relativisme pluralisme pun menghendaki adanya kebenaran bersama. Dengan kata lain semua benar atau semua salah atau tidak ada yang lebih benar dari yang lain.

"Logika bahasa mengarah pada dekontruksi makna dan upaya ini sama dengan apa yang ditawarkan Nietzsche dengan nihilisme-nya. Sehingga tidak saja kebenaran yang telah lenyap, Tuhan pun telah mati. Tetapi pluralisme nampak sedikit lebih elegan dengan mengakomodir semua kebenaran pada semua agama yang sejatinya tidak lebih dari sekedar upaya agar dunia menerima apa yang menjadi pandangan hidup Barat. Sebab pandangan hidup Barat tidak akan pernah diterima oleh dunia jika pluralisme gagal dipasarkan, apalagi masih ada komunitas agama yang mengklaim bahwa kebenaran ada pada pihaknya," tambahnya.

Lebih jauh, Pembantur Rektor III Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo ini juga menjelaskan hubungan liberalisme dan pluralisme. Menurutnya, liberalisme, menghendaki kebebasan untuk beragama juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Oleh karena itu klaim kebenaran bagi kaum pluralis adalah haram.

Paham ini (pluralisme dan liberalisme, red) tidak lagi menyempitkan ruang Tuhan agar tidak mencampuri urusan manusia, lebih jauh mereka menghendaki untuk menjadi pengatur Tuhan itu sendiri. Dari keinginan semacam ini (mengatur Tuhan) Barat pun menciptakan agama baru yang kita kenal dengan istilah humanisme.

Jadi, humanisme tidak lain adalah liberalisme itu sendiri. Menurut kaum humanis untuk menjadi orang baik tidak perlu religius cukup dengan menjadi seorang moralis saja. Maka, nantinya akan ada pelacur yang dermawan dan kiai yang "teroris", dan lain sebagainya.

Humanisme yang kini dikemas dalam pluralisme hadir karena proyek sekularisasi dinilai telah gagal mensekulerkan umat Islam Indonesia secara khusus. Maka sebagai gantinya Peter Berger menawarkan pluralisme sebagai proyek baru. Semua isme yang dihadirkan Barat dan diamini oleh para pemikir liberal sejatinya bukanlah pandangan hidup melainkan sebuah proyek global yang menghendaki rusaknya aqidah umat Islam dan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang paling sukses dalam penjualan proyek pluralisme itu sendiri.

Terkait dengan antusiasme kaum liberal di Indonesia bukan saja karena secara sadar paham pluralisme mereka yakini sebagai sebuah kebenaran. Tapi ada satu faktor lain yang cukup menggiurkan, yakni keuntungan materi dan berbagai fasilitas lain bagi mereka yang mau mengasong pluralisme dan menjajakannya di Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Pemimpin Redaksi Jurnal Islamia ini menegaskan bahwa pluralisme tidaklah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini bukan saja karena Indonesia mayoritas Muslim, secara konsep Islam lebih "dewasa" di banding Barat sebagai peradaban. Menurutnya, secara historis Islam pertamakali hadir di tengah pluralitas masyarakat; ada Yahudi, Nashrani, Majusi, Musyrikin bahkan Jahiliyah. Sedangkan Barat berkembang tanpa tetangga, sehingga wajar ketika terjadi perbedaan paham yang melahirkan sekte dalam Kristen antara satu sekte dengan sekte lainnya saling benci bahkan saling serang dan saling bunuh dan kondisi ini tetap berlangsung hingga saat ini, paparnya.

"Kalau pluralisme diterapkan di Barat ya tidak masalah tapi kalau untuk Indonesia nanti dulu, sebab pluralisme itu sebenarnya bentuk tipu daya Barat untuk mencabut dan menghilangkan identitas Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia", pungkasnya. (hidayatullah.com)