03 February 2010

Mewaspadai Sistem Ekonomi Yahudi


Yahudi adalah bangsa yang berkarakter buruk; curang, licik, angkuh, zalim, dan lihai mengotak-atik otak dalam rangka berbuat makar terhadap para rasul, mengakali syariat agama, serta mengubah kitab suci. Mereka musuh abadi umat Islam yang berada di balik makar Khawarij dan Syi’ah. Penebar segala produk kebatilan di tengah-tengah umat dan berambisi menggenggam dunia dengan segala cara.1

Tak heran, bila Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlepas diri (bara’) dari kaum Yahudi dengan tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan memboikot segala prinsip, ibadah, serta jalan hidup yang ada pada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam siapa saja yang mengikuti agama dan hawa nafsu mereka dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Yahudi dan Nashrani) setelah datang kepadamu ilmu (kebenaran), maka Allah tiada menjadi Pembela dan Penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)

Karakteristik Bangsa Yahudi

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yahudi adalah bangsa yang paling loba (tamak) terhadap kehidupan di dunia. Hal ini sebagaimana terungkap dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka (Yahudi), manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) daripada orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 96)

Karakteristik mereka dalam menjalani roda kehidupan pun sungguh “luar biasa”. Kitab suci mereka campakkan. Sedangkan para rasul (manusia terbaik di masanya) mereka dustakan dan bahkan sebagian yang lain mereka bunuh, manakala ajaran yang dibawa tidak sesuai dengan keinginan (baca: hawa nafsu) mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!” (Al-Baqarah: 87)

Demikian pula mayoritas dari mereka bersegera dalam membuat dosa, permusuhan, dan memakan harta haram. Sementara orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka tidak ada yang melarang dari perbuatan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kamu akan melihat mayoritas dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al-Maidah: 62-63)

Tak ketinggalan pula perilaku zalim, menghalangi (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, memakan riba yang jelas-jelas dilarang, dan memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil. Dengan sebab itulah akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 160-161)

Berikutnya, manakala harta berhasil mereka raih, maka kesombongan, bangga diri, dan sifat bakhil-lah yang menguasai mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang bakhil, menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan Kami sediakan bagi orang-orang kafir tersebut azab yang menghinakan.” (An-Nisa’: 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang-orang Yahudi dengan sifat bakhil; yakni bakhil ilmu dan harta. Walaupun sebenarnya konteks ayat ini lebih mengarah pada kebakhilan mereka dalam hal ilmu…” (Lihat Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim, juz 1 hal. 83)

PIJAKAN SISTEM EKONOMI YAHUDI
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, segala sistem yang melanggar aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pasti berkesudahan buruk walaupun dirancang secara sistematis dan dikemas dengan kemasan yang menarik. Termasuk pijakan sistem ekonomi yang ada pada bangsa Yahudi; menjalankan riba dan memakan dari hasilnya, memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil, memakan yang haram, berbuat bakhil, dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil. Semua itu tidaklah mengantarkan kecuali kepada keterpurukan dan krisis berkepanjangan, yang berdampak pada stabilitas kehidupan bermasyarakat. Untuk membuktikannya simaklah keterangan berikut ini:

1. Menjalankan riba dan memakan dari hasilnya
Riba merupakan dosa besar yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada bangsa Yahudi, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161 di atas. Pengharaman itu pun terus berlanjut pada umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri (ketika dibangkitkan dari kuburnya, pen.) melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Allah, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), urusannya (terserah) Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni An-Nar; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. Dan Allah tidak suka terhadap orang yang tetap di atas kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, merekalah orang-orang yang mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tiada kekhawatiran pada diri mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian benar-benar orang yang beriman. Jika kalian masih keberatan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok (modal) harta; kalian tidaklah menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 275-279)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas merupakan salah satu rangkaian ayat tentang pengharaman riba dan dahsyatnya hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi yang menjalankannya. Di dunia diperangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sedangkan di akhirat tidak dapat berdiri ketika dibangkitkan dari kuburnya melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan. Baik itu riba dain (dalam utang piutang), riba fadlh, ataupun riba nasi’ah. Bagaimana rincian dari jenis-jenis riba tersebut?.

Suatu kampung (baca: tempat) yang tersebar padanya riba, maka masyarakatnya setiap saat terancam mendapatkan azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika zina dan riba telah nampak di sebuah kampung, maka sungguh (masyarakatnya) telah menghalalkan diri mereka untuk mendapatkan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/43. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 679)

Lebih dari itu, praktik riba merupakan sebab kehinaan umat dan keterpurukannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika kalian melakukan praktik jual beli ‘inah (salah satu bentuk transaksi riba, pen.)2, mengambil ekor-ekor sapi (sibuk dengan peternakan), senang dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan timpakan atas kalian kehinaan yang tidak akan (kehinaan tersebut) dicabut dari sisi kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam As-Sunan no. 3462 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/316 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anha. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.11)

2. Memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil
Memakan harta benda sesama dengan jalan yang batil merupakan salah satu sumber petaka dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya pun amat buruk bagi lingkungan dan stabilitas keamanan. Baik yang nampak seperti merampok, mencuri, mencopet, dll., maupun yang tidak transparan seperti; penipuan dengan berbagai modusnya, menerima suap untuk memenangkan pihak tertentu, dll. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku di atas azas saling meridhai di antara kalian.” (An-Nisa’: 29)

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)

3. Memakan yang haram
Memakan yang haram dengan berbagai bentuknya merupakan sebab dicabutnya barakah dari kehidupan seseorang, keluarga, ataupun masyarakat. Padahal keberadaan barakah dalam kehidupan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh siapa pun yang menjalani roda kehidupan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik (Suci) tidaklah menerima kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada para Rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” (Al-Mukminun: 51) Dia juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari segala sesuatu yang baik, yang telah Kami rizkikan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 172).

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan jauh (safar), dalam kondisi rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu, lalu menengadahkan tangannya ke langit (seraya) berdoa: ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’ Sementara makanannya dari hasil yang haram, minumannya dari hasil yang haram, pakaiannya pun dari hasil yang haram, dan (badannya) tumbuh berkembang dari hasil yang haram. Maka mana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah?!” (HR. Muslim dalam Shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, hadits no. 1015)

Perjudian dengan segala modelnya, menjadi jalan pintas untuk memakan harta yang haram. Padahal ia dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat, serta dapat menghalangi mereka dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menegakkan shalat. Akibatnya, ketenangan hidup dengan sesama tidak diraih, sementara jiwa pun menjadi liar karena hampa dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menegakkan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari perbuatan itu).” (Al-Maidah: 90-91)

4. Berbuat bakhil dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil
Bakhil merupakan perbuatan tercela yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pelakunya akan dililit kesukaran hidup dan digiring oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk terjerumus ke dalam kejelekan dan kejahatan.3 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 8-10)

Bahkan bakhil dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil merupakan pangkal kebinasaan. Ia telah mengantarkan umat terdahulu pada pertumpahan darah dan menghalalkan segala yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jagalah diri kalian dari perbuatan zalim, karena kezaliman itu kegelapan pada hari kiamat, dan jagalah diri kalian dari perbuatan bakhil (dan ambisi untuk bakhil), karena ia telah membinasakan umat sebelum kalian. Perbuatan bakhil (dan ambisi untuk bakhil) itu mengantarkan mereka pada pertumpahan darah dan menghalalkan segala yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2578, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

AWAS BAHAYA YAHUDI
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari bahasan sebelumnya telah diketahui karakteristik bangsa Yahudi dalam menjalani roda kehidupan, khususnya tingkah polah mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Mereka menjalankan riba dan memakan dari hasilnya, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161.

Mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161.

Mereka memakan yang haram, sebagaimana dalam Surat Al-Maidah ayat 62.

Manakala harta telah diraih, mereka pun berbuat bakhil bahkan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 37.

Tentunya karakteristik Yahudi dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut tidak selaras dengan Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agama suci yang menanamkan sikap selektif dalam memilih mata pencaharian kepada umatnya. Islam tak menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan semua telah diatur sedemikian rupa demi kebahagiaan pemeluknya di dunia dan di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 168)

Lebih dari itu, segala pijakan sistem ekonomi Yahudi tersebut mengantarkan kepada keterpurukan dan krisis ekonomi berkepanjangan, yang berdampak pada stabilitas kehidupan bermasyarakat. Riba mengantarkan kepada kehinaan, keterpurukan, dan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil merupakan salah satu sumber petaka dalam kehidupan bermasyarakat. Memakan yang haram, penyirna barakah dalam kehidupan. Perbuatan bakhil penyebab kesukaran hidup, pertumpahan darah, dan sikap menghalalkan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Atas dasar itulah, seyogianya umat Islam mewaspadai sistem ekonomi yang berpijak pada karakteristik orang-orang Yahudi yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala itu. Tidak boleh mengikuti sistem ekonomi mereka, apalagi menjadikannya sebagai acuan pendapatan baik bagi individu, keluarga, ataupun negara.

Akhir kata, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengannya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih. Karena dengan itulah akan teratasi segala keterpurukan, akan sirna segala kehinaan, dan akan diraih kejayaan yang telah lama dirindukan. Wallahu a’lam bish-shawab. (asysyariah.com)

  1. Untuk lebih rincinya silakan kaji kembali Majalah Asy-Syari'ah edisi Awas Bahaya Yahudi! No. 32/1428 H/2007.
  2. Yaitu seseorang menjual barangnya kepada orang lain dengan cara kredit, lantas barang tersebut diserahkan kepada si pembeli. Kemudian (si penjual) membeli barang yang dijualnya tersebut secara kontan dari si pembeli tadi (sebelum lunas kreditnya) dengan harga yang lebih murah dari harga penjualannya. (Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 1, hal. 42)
  3. Untuk lebih jelasnya, lihat Tafsir As-Sa’di saat menafsirkan ayat 8-10 dari Surat Al-Lail.