02 February 2010

SBY: I love the United States

"I love the United States, with all its faults.
I consider it my second country".

Sejak awal Amerika Serikat (AS) selalu menginginkan Indonesia dipimpin oleh seorang yang bisa menurut pada keinginannya. Megawati dianggap tidak bisa diatur oleh AS terutama soal ekonomi, tapi belakangan Megawati dianggap tidak mampu mewujudkan keinginan AS.

Amerika sebagai satu-satunya super power perlu boneka yang tunduk padanya. Apalagi Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. AS yang dikuasai pemerintahan George Walker Bush yang sangat konservatif perlu orang loyal yang bisa melaksanakan agendanya: Perang melawan terorisme. Pilihan jatuh pada SBY, seorang militer yang telah lama dibina AS antara lain pernah dididik di Airborn dan Ranger (1976), Infantery Officer Advance Course (IOAC) tahun 1982-1983 serta pendidikan sekolah staf komando di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991).

Di mata AS, Presiden Megawati masih menyimpan nasionalisme yang diwarisi bapaknya, Soekarno. Bahkan belakangan Megawati dianggap mulai membangkang kepada AS karena berani membeli pesawat Sukhoi buatan Rusia.

Hubungan SBY dan pemerintahan Bush semakin intensif sejak 2003. SBY bahkan diundang ke New York untuk menghadiri seminar "Counter Terrorism". Kelompok yang dipimpin oleh Paul Wolfowitz yang pernah menjadi Duta Besar AS di Indonesia. Selain itu, mereka punya ambisi menguasai minyak di Timur Tengah dan menduduki Irak.

Kebijakan kelompok di pemerintahan Bush ini sebenarnya tidak disukai oleh warga AS yang umumnya moderat. Karena itulah, kini penantang Bush dalam pemilihan presiden AS, John Kerry, makin populer karena Kerry selalu mengkritik Bush soal Irak.

Dukungan Bush pada SBY makin terkuak oleh koran terbitan Singapura, Business Times edisi 10 April 2004. Koran itu mengutip sumber di pemerintahan Bush yang menyatakan bahwa AS mendukung SBY untuk membentuk koalisi yang tidak terkalahkan. Di mata Bush, SBY adalah sosok yang kredibel mendukung kebijakan Bush soal perang melawan terorisme. Sebelumnya, Koran The Asian Wall Street Journal (AWSJ) juga menulis tajuk yang isinya senada. AWSJ menilai SBY sebagai tokoh yang tegas dan pendukung perang melawan terorisme yang digelar Bush.

Seiring dengan berita-berita itu, di Jakarta pun beredar spekulasi di kalangan investor bahwa jika SBY yang menang, dolar akan dipatok turun di bawah Rp. 8.000 oleh otoritas moneter internasional.

Dalam situs Al Jazeera.Net, 4 Juli 2004, terdapat profil SBY tulisan Paul Dillon. Digambarkan dengan jelas bagaimana SBY adalah seorang purnawirawan yang sangat pro AS. "I love the United States, with all its faults. I consider it my second country" (Saya mencintai Amerika Serikat, dengan segala kesalahan-kesalahannya. Saya menganggap Amerika adalah Negara kedua saya.) Dukungan terhadap SBY juga datang dari Paul Rowland, pimpinan sebuah LSM National Democratic Institute for International Affairs (NDI) yang selalu membuat jajak pendapat memenangkan SBY. Rowland mengatakan bahwa SBY "firm leader, but not an iron fist" (pemimpin yang tegas dan tidak bertangan besi). Pujian ini tentu berlebihan jika melihat sikap SBY yang peragu dan tak mampu mengambil keputusan.

SBY memang tidak bertepuk sebelah tangan. Sikap Washington sangat hangat terhadapnya dan hal itu terbukti ketika ia melakukan kunjungan kerja ke AS pada September 2003. Harian Indopos (Minggu, 21 September 2003) memberitakan, kendati badai Isabel melumpuhkan ibukota AS, kunjungan kerja SBY tetap jalan. Di tengah-tengah kondisi darurat yang mengakibatkan kantor-kantor pemerintahan tutup dan fasilitas transportasi umum terhenti, pertemuan para petinggi AS dengan SBY tetap dilakukan. Koran Indopos adalah bagian dari Jawa Pos Group pimpinan Dahlan Iskan yang pada tahun 2004 terang-terangan mendukung SBY dalam pemilihan presiden putaran ke-2.

Pada kunjungan ke AS tersebut, SBY benar-benar mendapat perlakuan istimewa. Dalam jamuan makan malam khusus Asosiasi Persahabatan AS-Indonesia (USINDO Society) pada Jumat, 19 September 2003, SBY disambut meriah. Para petinggi AS yang berbicara dengan SBY pada kunjungan itu antara lain; Menteri Luar Negeri Collin Powell, Wakil Menteri Pertahanan Paul D. Wolfowitz dan Direktur FBI Robert S. Mueller. Mereka menerima SBY di kantor masing-masing. "Pertemuan berlangsung produktif," kata SBY kepada wartawan usai menjalani rangkaian pertemuan.

Jamuan makan malam USINDO yang dihadiri 150 orang benar-benar istimewa. Hadir Paul Wolfowitz, Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Asia Pasifik James Kelly, Dubes AS untuk RI Ralph "Skip" Boyce dan Co Chair Board of Trustee USINDO yang juga bekas Dubes AS di Jakarta Edward Masters. Di luar undangan terbatas, mereka yang hadir harus memiliki karcis yang dijual bervariasi antara 2.500 dolar AS hingga 5.000 dolar AS untuk satu meja atau berkisar 150 dolar AS - 1000 dolar AS untuk perorangan. Karena yang datang Paul Wolfowitz dkk, tak sedikit kalangan pengusaha Yahudi yang turut serta sehingga meskipun badan Isabel sedang mengamuk, ruang pertemuan Willard tetap penuh sesak.

Wolfowitz yang dikenal sebagai arsitek penjajahan AS di Irak, mengajak seluruh hadirin melakukan toast untuk SBY. Berdiri bersulang dengan mengangkat gelas berisi minuman beralkohol anggur dan sampanye dimaksudkan orang terkuat di Pentagon ini sebagai penghormatan bagi SBY. "Mari kita melakukan toast kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut menjaga transisi demokrasi untuk sebuah Negara Indonesia yang lebih baik," kata Wolfowitz sambil berdiri tegak dari sisi mejanya. Hadirin ikut berdiri dan mengangkat gelas masing-masing kemudian mengadukan gelas-gelas mereka sehingga terdengar bunyi gemerincing sebelum diminum. SBY tampak terharu bahagia menerima penghormatan ini dengan anggukan kepala tanda terima kasih.

Dalam pidato 25 menit malam itu, SBY mendapat applaus (tepuk tangan) penonton hingga 7 kali terutama ketika ia menekankan komitmen Indonesia memberantas teroris Islam. "Saya berada di sini hari ini untuk menegaskan lagi solidaritas Indonesia dengan Amerika Serikat dalam koalisi global melawan terorisme," katanya disambut tepuk tangan panjang hadirin.

Komitmen pemerintahan Bush yang pro Israel itu ternyata tak sebatas retorika. Diam-diam, operasi penggalangan dana ternyata telah dimulai sejak tahun 2002. Ada dua organisasi besar yang melakukan fundraising (pengumpulan dana) bagi SBY dan Partai Demokrat yakni AIPAC (American-Israeli Public Affairs Committee atau Komite Amerika-Israel untuk Urusan Publik) dan ADL (Anti-Defamation League atau Liga Anti Penistaan). Menurut mantan Senator Paul Findley, kedua organisasi ini merupakan dua organisasi lobi Yahudi yang paling berpengaruh terhadap Gedung Putih (White House). Sumbangan dana seperti ini memang diumumkan di AS sehingga sebagian mahasiswa Indonesia di sana dengan mudah mendapatkan informasi. Di Jakarta, kini telah berdiri pula Indonesian-Israeli Public Affairs Committee (IIPAC) yang dipimpin seorang agen Mossad.

Pertemuan-pertemuan rahasia SBY dan kubu pemerintahan Bush tak sebatas di Washington tapi juga di Jakarta dan Bali. Di Jakarta, SBY biasanya bertemu Wolfowitz di Hotel Regent (kini Four Seasons Hotel). Sudah berbulan-bulan SBY membuka kamar di sana selain untuk menginap juga untuk pertemuan yang bersifat rahasia. Sudah menjadi rahasia umum, sejak bom meledak di Marriott, Hotel Four Seasons jadi alternative tempat menginap orang-orang Amerika termasuk Wolfowitz dan Collin Powell. Bahkan peringatan Hari Kemerdekaan AS, 4 Juli, dilakukan di hotel tersebut.

Melihat sepak terjang SBY yang terlalu tunduk pada AS, banyak pihak khawatir Indonesia akan menjadi negara boneka AS, seperti Filipina atau Pakistan. Inilah juga kekhawatiran kalangan Islam dan kalangan nasionalis yang memang setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan umat Islam mewaspadai SBY akan menjadi antek AS dengan isu perang melawan terorisme (fpk).