Beberapa waktu lalu saya mendapatkan satuan mata kuliah bertajuk “Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Mata kuliah ini diberikan untuk mahasiswa semester VIII.
Yang menarik untuk ditelaah adalah tujuan diberikannya mata kuliah ini kepada mahasiswa, yakni agar ‘’Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Quran dan Hadits.’’
Ada empat buku referensi yang dianjurkan untuk dibaca yaitu:
- Buku karya Mohammed Arkoun, berjudul Rethinking Islam,
- Buku karya Norman Calder berjudul Studies in Early Muslim Jurisprudence,
- Buku karya Kenneth Cragg, berjudul The Event of the Quran: Islam in Its Scripture,
- Buku karya Farid Essac, berjudul Qur’an Liberalism and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity againts Oppression.
Dari tujuan dan daftar referensi yang dianjurkan sudah terlihat dengan nyata, bahwa UIN Jakarta – khususnya Jurusan Tafsir Hadits – ingin membentuk sarjana agama yang berpikiran model oOientalis, khususnya dalam bidang Al-Quran dan hadits.
Tentu saja ini sangat menyedihkan. Dari referensi yang dianjurkan, misalnya, tidak terdapat karya-karya Edward Said yang dikenal sangat kritis terhadap Orientalisme.
Mengutip pendapat Prof. Dr. Ali Husny al-Kharbuthly (Guru Besar di ‘Ain Syams, Mesir), Prof. Hamka menyebutkan, bahwa ada tiga tujuan Orientalisme di dunia Islam, yaitu:
- Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam,
- Untuk kepentingan penjajahan,
- Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. (Hamka, Studi Islam, 1985:12)
Ia mencoba membuktikan, bahwa bagian Al-Quran dan Hadits adalah dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber pandangan hidup Islam.
Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam Al-Quran. (Muhammad at Mecca, 1960, 103).
Dari referensi kurikulum Kajian Orientalisme di UIN Jakarta, ada buku “Rethingking Islam” karya Mohammed Arkoun. Buku Arkoun ini sudah lama (1996) diterjemahkan dan beredar di Indonesia, dengan judul “Rethingking Islam”. Penerjemahnya seorang dosen Fakultas Adab UIN Yogyakarta dan diterbitkan sebagai realisasi program kerja ICMI Orsat Montreal, Ottawa, Kanada.
Dalam buku ini, Arkoun jelas-jelas mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali dan membongkar-bongkar hal-hal yang sudah dianggap mapan oleh umat Islam.
Misalnya, ia mengajak untuk mengkritisi Al-Quran. Bahkan, ia secara terang-terangan menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya. Arkoun, misalnya, menyebut Mushaf Utsmani sebagai Corpus Resmi yang Tertutup, dan ia mendukung upaya Orientalis untuk meragukan keabsahan Mushaf Utsmani.
Kata Arkoun : “Sejarawan-sejarawan Modern telah mengkaji pertanyaan ini dengan semangat kritik, yang secara prinsip dikarenakan Al-Quran dikumpulkan dalam suasana politik yang sangat kacau. Seorang pakar Kearaban dari Jerman mengemukakan kajian kritis pertama terhadap teks Al-Quran kira-kira pada tahun 1860.’’
Yang dimaksud oleh Arkoun dengan pakar Kearaban dari Jerman yang mengkritisi teks al-Quran itu adalah Theodore Nöldeke, yang pada tahun 1860 menerbitkan bukunya, Geschichte des Qurans (Sejarah al-Quran).
Karya Nöldeke ini terus dikembangkan bersama Schwally, Bergsträsser, dan Otto Pretzl, dan ditulis selama 68 tahun sejak edisi pertama. Hasilnya, sampai saat ini, Geschichte des Qorans menjadi karya standar bagi para Orientalis khususnya dalam sejarah kritis penyusunan Al-Quran.
Musthafa A’zhami, dalam bukunya, The History of The Qur’anic Text, mengutip satu artikel di Encyclopedia Britannica (1891), dimana Nöldeke menyebutkan banyaknya kekeliruan dalam Al-Quran karena, kata Nöldeke, “Kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi – kecerobohan nama-nama dan perincian yang lain yang ia curi dari sumber-sumber Yahudi.’’
Dalam bukunya, A’zhami membuktikan sejumlah kesalahan fatal kajian Noldeke tentang Al-Quran.
Itulah Theodore Nöldeke, orientalis Jerman yang dibanggakan oleh Arkoun telah melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran dan telah menuduh Nabi Muhammad sebagai penulis al-Quran dan orang jahil.
Anehnya, bukannya mengkritisi pemikiran Nöldeke, Arkoun justru menyesalkan, mengapa sarjana Muslim tidak mengikuti kaum Orientalis dalam mengkritik teks Al-Quran tersebut.
Ia menulis dalam bukunya : "Sayang sekali bahwa kritik filosofis terhadap teks suci – yang telah diterapkan pada Bible berbahasa Hebrew dan Perjanjian Baru tetapi tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif bagi konsep wahyu – terus ditolak oleh pendapat ilmiah umat Islam.
Karya-karya aliran Jerman terus diabaikan, dan ilmuwan-ilmuwan Muslim tidak berani melakukan penelitian semacam itu walaupun penelitian ini akan memperkuat pondasi ilmiah sejarah mushaf dan teologi wahyu. Alasan yang melatarbelakangi perlawanan ini bersifat Politik dan Psikologis.’’
Saran Arkoun agar umat Islam melakukan kritik teks Al-Quran sejak lama memang sudah dianjurkan oleh para orientalis.
Tahun 1927, seorang pendeta Kristen asal Iraq, Prof. Alphonse Mingana, sudah menganjurkan, agar menempatkan Al-Quran sebagai subjek kritisisme sebagaimana telah dilakukan terhadap Bible. (The time has surely come to subject the text of the Qur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).
Para orientalis Yahudi dan Kristen selama ini berusaha meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa Mushaf Al-Quran saat ini adalah benar-benar Firman Allah, lafdhan wa ma’nan, dari Allah. Tidak ada unsur manusiawi di dalamnya. Bahkan, redaksi al-Quran itu sendiri sama sekali tidak ada campur tangan Nabi Muhammad saw.
Dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”
Konsep teks Al-Quran sebagai firman Allah ini sangat berbeda dengan konsep teks Bible yang juga dikatakan oleh kaum Kristen sebagai ‘firman Tuhan’. Sebab, Al-Quran adalah Kitab yang tanzil, yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Sedangkan Bible adalah kitab yang ditulis oleh para penulis Bible yang dikatakan mendapat inspirasi dari Roh Kudus. Sehingga, bagaimana pun, ada unsur manusiawi dalam konsep teks Bible. Dr. C. Groenen, penulis buku Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, menyatakan, meskipun penulis Bible dikatakan mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus, tetapi “Konsili Vatikan II juga menggarisbawahi bahwa inspirasi tidak mematikan aktivitas pribadi para penulis, sehingga betapa suci pun Alkitab, ia tetap manusiawi.”
Memang, dalam dokumen Konsili Vatikan II, dei verbum (13), yang menyebutkan: “For the words of God, expressed in human language, have been made like human discourse, just as of old the Word of the eternal Father, when he took to Himself the weak flesh of humanity, became like other man.” (Terjemahan edisi Indonesia, oleh Dr. J. Riberu dari Dokpen MAWI, 1983, adalah: “Sebab sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menjadi sama dengan bahasa manusia, sama seperti dahulu Sabda Bapa Abadi mengambil daging manusia yang lemah dan menjadi sama dengan manusia).
Maka, sebagaimana pemahaman mereka terhadap Bible, sejumlah teolog Katolik/Kristen mendesak umat Islam agar mengakui unsur-unsur manusiawi dalam Al-Quran. Michel J. Scanlon, Professor of systematic theology di Washington Theological Union dan president of the Catholic Theological Society of America, menyatakan, “The absolute character of the Quran as the Word of God is a traditional tenet of Islamic orthodoxy.”
(Bahwa karakter absolut al-Quran sebagai Kata-kata Tuhan adalah doktrin ortodoks Islam). Ia mendukung gagasan Al-Quran sebagai “resepsi wahyu” (reception of revelation). (Lihat, Scanlon, Michel J., “Fidelity to Monotheism”, ins Ellis, Kail C. (ed), The Vatican, Islam, and the Middle East, Syracuse University Press, Syracuse, 1987).
Dalam bukunya, Musthafa A’zhami juga mengutip pendapat teolog Katolik terkenal, Hans Kung, yang mengusulkan agar kaum Muslimin mau mengakui elemen kemanusiaan yang ikut bermain pada al-Quran. (Peter Ford, “The Quran as Sacred Scripture”, dalam Muslim World, No 2, April 1993).
Diantara buku rujukan “Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, juga disebutkan buku Kenneth Cragg berjudul ‘The Event of the Quran: Islam in Its Scripture’. A’zhami mencatat, bahwa Cragg adalah seorang pemimpin Gereja Anglikan yang juga mengimbau agar umat Islam memikirkan kembali konsep wahyu tradisional Islam dan mengusulkan agar ayat-ayat Madaniah ditinggalkan.
Kasus kurikulum jurusan Tafsir-Hadis di UIN Jakarta ini merupakan bukti nyata, bahwa infiltrasi Orientalisme dalam studi Islam di Perguruan Tinggi Islam, sudah terlalu jauh mencengkeram para akademisi Muslim. Ini sangat ironis.
Padahal, betapa pun, para kajian orientalis dalam studi Al-Quran sudah terbukti mengandung berbagai penyimpangan.
Adalah aneh, jika tujuan kurikulum itu adalah mengarahkan agar mahasiswa jurusan tafsir-hadits di UIN Jakarta dapat memahami dan menerapkan Kajian Orientalis terhadap Al-Quran dan Hadis. Ini aneh dan ajaib.
Apakah dosen-dosen yang mengajarkan mata kuliah ini menyadari dampak yang ditimbulkan dari kurikulum semacam ini?.
Tahun 2004 lalu, Kompas menerbitkan buku seorang almunus Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, berjudul “Islam Mazhab Kritis”. Tetapi, anehnya, buku ini sama sekali tidak kritis dalam mengutip pemikiran Arkoun dan pemikir Liberal lainnya, seperti Nasr Hamid Abu Zayd. Sarjana agama dari UIN Jakarta itu menulis:
“Al-Quran sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al Quran, 2000). Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Quran dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya.” (hal. 91).
“Di zaman modern ini, ada dua Mufassir terkemuka yang menggunakan metode Hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Mohammed Arkoun mungkin orang yang secara tuntas mencoba menggunakan Hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran.
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori Hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu.” (hal. 94).
Pemberian gelar “mufassir terkemuka” kepada Rahman dan Arkoun adalah sesuatu pemujaan yang berlebihan dan sama sekali bukan sikap kritis, sebab kedua orang itu, hingga kini, belum pernah menghasilkan sebuah kitab tafsir pun, dan teori tafsirnya pun meminjam dari sejumlah pemikir Barat dalam hermeneutika.
Jika kurikulumnya saja seperti itu, bisa dimaklumi, jika ada sarjana Jurusan Tafsir Hadits yang sama sekali tidak kritis terhadap kajian hasil orientalis dan “pengikutnya”, tetapi pada saat yang sama, menjadi sangat kritis terhadap para sahabat Nabi dan para ulama Islam terkemuka. Sikap itu bisa disebabkan karena kebodohan, atau bisa juga karena penyakit dalam hatinya, yang memang sudah condong kepada kebatilan.
Bahkan, ada seorang sarjana agama dari IAIN Semarang, yang dengan ringannya menulis dalam sebuah jurnal: “Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (wahyu eksplisit dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (wahyu implisit berupa konteks sosial waktu itu). (Jurnal Justisia, edisi 27/2005).
Sarjana-sarjana agama yang dengan ringannya mengkritisi dan menghujat Al-Quran semacam inikah yang ingin dihasilkan melalui pendidikan studi Al-Quran ala Orientalis di UIN Jakarta dan sejenisnya? Na’udzubillahi min dzalika. (hidayatullah.com)
*****