Oleh: Sirikit Syah
Kira-kira sebulan yang lalu kita ‘dimanjakan’ oleh televisi swasta dengan sebuah pertunjukan reality show yang amat sangat meyakinkan: Perburuan dan Pembasmian Terorisme. Sesungguhnya, kita sudah terbiasa dengan berbagai program reality show, baik yang bersifat menghibur, penuh gosip dan fitnah, provokatif, memotret sisi terburuk manusia, menjebak, dll. Kita tertawa-tawa melihat orang dijebak, ditipu, dipertontonkan kekikirannya atau ketidakmampuannya mengelola emosi. Kita tahu semua yang disebut ‘reality show’. Itu cuma tipu-tipu, rekayasa, seolah-olah, make-believe. Kita tidak keberatan.
Namun reality show yang terjadi di Temanggung sebulan lalu bukan reality show bohong-bohongan. Sebetulnya itu adalah fakta yang paling nyata, rekaman dan tayangan langsung sebuah peristiwa berita. Namun begitu banyak kemiripan news event ini dengan reality show yang biasa kita tonton, di alam bawah sadar kita malah menganggap tayangan berita itu sebagai program hiburan layaknya reality show yang kita tonton sehari-hari.
Ada banyak persoalan validitas dan akurasi dari tayangan penggerebegan teroris yang menewaskan seorang bernama Ibrohim itu (semula dikira Noordin M Top). Dari sudut pandang teori news broadcast, banyak sekali kejanggalan. Namun kita seperti disihir, dan tayangan langsung sepanjang hampir 30 jam itu kita telan bulat-bulat. Kabarnya, menurut lembaga rating AC Nielsen, tayangan ini mendapat rating 32, sangat tinggi untuk ukuran tontonan televisi. Artinya, sepertiga pemirsa televisi memusatkan perhatian pada tayangan ini. Bahkan saat klimaks (terbunuhnya Ibrohim), rating pemirsa naik menjadi 75% audienceship. Fantastis.
Persoalan mendasar adalah: bagaimana operasi intelijen dan pemberantasan terorisme itu bisa diliput media secara langsung dan seketika? Artinya: posisi kamera berita seperti telah diatur sedemikian rupa sebelum acara penggerebegan sehingga sudut pengambilan gambarnya sempurna. Umumnya, untuk operasi penggerebegan semacam ini awak televisi datang terlambat, lalu gambarnya bergoyang-goyang, angle-nya aneh karena medan yang sulit, gambar kabur, dstnya. Yang kita saksikan di TV One dan Metro TV: gambarnya nyaris sempurna seperti sebuah press event yang disiapkan, bahkan seperti reality show yang diskenariokan dan disutradarai.
Di antara berbagai kejanggalan liputan dan pemberitaan itu, tersimpan sebuah persoalan inti dan besar, yaitu bagaimana dampak siaran langsung ini? Kita mesti mensyukuri bahwa di dalam pondok di tempat terpencil di desa Temanggung, Jawa tengah itu, tidak ada pesawat televisi. Seandainya ada pesawat televisi, bisa terjadi tragedi Mumbai, India. Bulan November tahun lalu, tentu kita masih ingat, terjadi penyanderaan oleh sekelompok teroris di Hotel Taj Mahal di kota turis itu. Sandera memang dapat dibebaskan, namun banyak orang tewas, termasuk pemimpin pasukan anti-teroris, karena para teroris menonton siaran langsung televisi atas peristiwa itu. Mereka mengetahui posisi aparat dan menyerang kelemahan mereka. Ironis, bukan? Pembasmian teroris yang ditayangkan langsung oleh televisi mengakibatkan tewasnya para aparat karena mereka terekspos dengan gamblang.
Apakah aparat kepolisian Indonesia tidak berpikir tentang tragedi itu ketika melakukan operasi penyerbuan sambil mengajak awak media? Apakah polisi kita bodoh? Mustahil, bukan? Bila polisi kita tidak bodoh, apa yang dilakukan pasti didasari perhitungan cermat. Artinya: dibawa-bawanya awak media saat operasi pemberantasan terorisme, dan diberinya ijin menyiarkan secara langsung, dengan akses informasi bebas, pastilah telah diperhitungkan. Polisi sudah tahu di dalam rumah tidak ada pesawat televisi. Apakah berarti polisi juga tahu bahwa di di dalam rumah tidak ada segerombolan teroris, melainkan hanya seorang saja? Lalu, mengapa seorang yang masih disangka teroris ini, yang menjawab ketika ditanya, dan tidak melawan ketika diserbu, tidak diselamatkan nyawanya untuk keperluan penyelidikan lebih lanjut? Wallahu alam bi sawab.
Lalu, selain potensi akibat mengerikan seperti yang dialami para pasukan anti-teroris di Mumbai, India, di Indonesia telah terjadi (bukan lagi potensi) perubahan sikap masyarakat terhadap sesamanya. Rasa saling curiga tumbuh bersamaan dengan meningkatnya kewaspadaan. Bila waspada adalah sikap positif, curiga sebaliknya. Polisi kemudian seperti memiliki legitimasi untuk melakukan apa saja atas nama anti-terorisme: menembaki tersangka hingga tewas, menangkapi lelaki berjubah dan berjenggot serta perempuan bercadar, menahan para penyiar Islam yang alim. Seseorang dengan nada sinis menambahkan: kita bisa dicurigai dan ditangkap hanya karena rajin mengaji dan membawa Quran kemana-mana. Inilah tragedi bangsa Indonesia saat ini. Perempuan bercadar diwaspadai, perempuan dengan busana setengah telanjang yang berpotensi mengganggu ketertiban umum melenggang bebas. Lelaki berjenggot, bercelana cingkrang atau berjubah digeledah; lelaki berdandan seperti perempuan dengan muka habis di’facial’, lebih dihormati. Membawa Quran disangka penjahat, membawa VCD porno adalah hak asasi.
Mudah-mudahan ini hanya semusim lalu, ketika para pemimpin masih paranoid terhadap kemungkinan huru-hara di tengah euforia kemenangannya. Semoga ini segera berlalu, pemimpin segera bekerja sesuai janjinya, aparat kepolisian kembali menjalankan tugas menciptakan keamanan (bukannya menebarkan kecemasan), dan rakyat sudah lupa pada reality show bertajuk terorisme. Ada banyak hal lain yang patut menjadi perhatian kita: pendidikan tinggi (universitas) yang makin mahal, bersatunya semua partai besar (badan legislatif tanpa oposisi), kasus Antasari vs KPK yang makin membingungkan, dan harga-harga yang makin melambung. Warga negara Indoensia bukan hanya PNS, TNI dan Polri yang dijamin kenaikan/penyesuaian gajinya. Ada banyak rakyat yang tengah kesulitan memenuhi kebutuhan pokok hidupnya di negeri ini. Eksploitasi berita terorisme tanpa fakta baru, sudah waktunya dihentikan. (sirikitsyah.wordpress.com)