12 October 2009
Bom dalam Perspektif Islam
Saat ini, masyarakat mulai mendiskusikan hukum pengeboman terhadap properti, mobil dan tempat-tempat umum lainnya, dan kami mendengar beberapa pendapat yang menarik bahwa pengeboman dan peledakan tersebut bukan “jalan penyelesaian masalah” atau “kebangkitan”.
Itu adalah pendapat yang sangat menarik, tapi tidak fair, ini adalah sebuah penilaian (analisis) yang tidak adil dari para “pengamat” Islam. Peledakan-peledakan tersebut hanyalah sebuah ikhtiar, dan bukanlah jalan hidup atau metode mencapai tujuan.
Oleh karena itu hukum dari ikhtiar tersebut akan sama dengan hukum dari target dan tujuannya.
Pengeboman punya sebuah tujuan. Memiliki buah dan hasil serta dalil. Ini berbeda dengan apa yang orang simpulkan tentang tujuan pengeboman. Ini bukanlah persoalan benar salah ataupun fair tidak fair bagi seseorang menerima bahwa hukumnya semata-mata berdasarkan upaya untuk menyempurnakan tujuan.
Jika kita menghubungkan persoalan ini dengan setiap persoalan agama, ini hanya akan menyebabkan kebingungan dan terjebak dalam diskusi yang menghabiskan waktu dan tiada ujung pangkal.
Tidak ada keraguan lagi, bahwa akibat dari pengeboman pastilah ada pembunuhan dan kerusakan, beberapa membunuh dengan haq dan sebagian tidak. Sebagai contoh, membunuh seorang Muslim tanpa haq (diharamkan), kecuali dengan alasan yang dibolehkan Islam, seperti; merajam pezina (muhson), membunuh orang murtad dan menghukum tindakan kriminal, dan lain-lain.
Sedangkan bagi orang kafir, hidupnya tidak memiliki kesucian tanpa memiliki perjanjian damai (dengan khalifah) baik sebagai musta’man maupun dzimmi, meskipun aslinya (orang kafir) tidak memiliki kesucian.
Beberapa peledakan yang tidak didasarkan pada kebenaran (haq) tidak menyebabkan apa-apa kecuali fasad dan kehancuran, akan tetapi peledakan yang didasarkan pada kebenaran (haq) memiliki akibat besar bagi ‘kebangkitan’ dan penyelesaian masalah. Sebuah pengeboman bisa jadi dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sebaliknya, dilaknat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, untuk mengeluarkan istilah dan argumen baru, mengatakan bahwa itu karena korupsi, perpecahan, dan sebagainya hanya akan menambah kebingungan masyarakat. Orang yang mendiskusikan isu ini harus menggunakan ilmu dan menghindarkan kebingungan masyarakat yang mudah tergelincir oleh perasaannya dan argumen yang menakjubkan.
Mereka (orang-orang yang menggelincirkan umat) menyebarkan kebusukan mereka di tengah-tengah masyarakat, seperti menyebarkan ide-idenya, yaitu; sekularisme, pluralisme, kasih dan damai untuk sesama, dan sebagainya serta mempropagandakan seruan tersebut sehingga jiwa masyarakat terperangkap olehnya.
Sebuah contoh dalam persoalan ini adalah seseorang yang berbicara dan menyeru orang untuk melawan dakwah, menyatakan bahwa dakwah adalah jembatan menuju Jahannam. Ketika seseorang menuduh mujahidin dan mengutuk mereka sebagai teroris, fundamentalis dan esktrimis, maka sebenarnya mereka sendirilah yang menyeru kepada pintu-pintu neraka Jahannam (du’atun ila abwabi jahannam) sebagaimana yang tertera dalam hadits mulia yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Al Yaman. Lalu, dapatkah orang-orang tersebut (dua’tun ila abwabi Jahannam) mendapatkan syafaat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama di hari Kiamat nanti ? Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya syetan-syetan itu mengajak golongannya supaya menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Faathir, 35: 6)
Sementara ada penyeru yang menyeru kepada kebenaran (haq) dan mereka berada dalam jalan menuju surga, dan ada juga yang menyeru kepada kemungkaran dan mereka berada di jalan menuju Jahannam. Pengebom itu memiliki dua tipe tersebut. Kita harus tahu apa tujuan dan arah operasi mereka? Siapa yang menjadi target dan siapa yang akan dibunuh? Apakah tujuannya mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah targetnya orang Islam atau orang kafir ? Apakah tujuannya membunuh kaum Muslimin atau berperang melawan para agresor?
Ada banyak pintu menuju surga, salah satunya adalah babul Jihad (pintu jihad). Orang-orang yang haq akan mendapatkan “Izzah” dan kehormatan melawan musuh dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan menjanjikan mereka surga dan kemuliaan.
Orang-orang yang mengutuk penyerangan-penyerangan tersebut tidak pernah berhenti berpikir, baik tentang tujuan pengeboman maupun targetnya. Masyarakat (dilandasi perasaan dan rasio semata) mengutuk pengeboman-pengeboman yang terjadi dan tidak pernah berpikir mengapa tempat-tempat tersebut menjadi target pengeboman. Masyarakat bahkan mulai bertanya, “Dapatkah kita menggunakan bom bunuh diri di Palestina?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menakuti dan menggentarkan orang-orang kafir, musuh Allah dan kaum Muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…” (QS Al-Anfal, 8: 60)
Tidak ada keraguan lagi, bahwa pengeboman terhadap orang-orang kafir di negeri-negeri kaum Muslimin dan negeri-negeri kufur akan menggentarkan mereka, menakuti mereka dan menjerakan mereka dari menyerang kita lagi.
Kita lihat dewasa ini bahwa tidak ada yang mengguncangkan musuh kecuali penyerangan dan pengeboman dan kekerasan, untuk mencari ridha Allah. Di Palestina, orang Yahudi merasa menderita dan seolah-olah berada di neraka karena secara terus-menerus, setiap hari terjadi penyerangan dan operasi. Akan tetapi mereka (Yahudi) tidak pernah merasa khawatir atau ngeri karena demonstrasi yang dilakukan oleh kaum Muslimin di London, atau di Jakarta.
Kalau kita melihat pria-pria pemberani di abad ini dan pahlawan-pahlawan umat di abad ini, seperti : Abdullah Azzam, Khattab, Muhammad Al Shihri, Ahmad Al Haznawi, Sa’id Al Ghaamidi, Syekh Abul Abbas Al Januubi, Syekh Osama bin Laden, Khalid Ayyash dan masih banyak lagi, orang-orang ini tidak pernah menjadi pahlawan besar, kecuali melalui pemahaman tentang jihad.
Terlihat bahwa seseorang yang ingin menyebarkan ide bahwa pengeboman bukan jalan untuk kebangkitan atau pendekatan rasional hanyalah mencoba menyebarkan pandangannya untuk mengembangkan tarbiah dan pendidikan untuk membangkitkan umat.
Memang, kenyataannya kita mengetahui pentingnya tarbiah dan pendidikan, khususnya untuk memurnikan akidah dalam tubuh umat, untuk memurnikan tauhid dan mengajarkan umat untuk menolak thagut, membangun mereka dalam wala’ dan bara’, akan tetapi tidak menyangkal seruan jihad dan memerangi agresor, mempertahankan hidup, kekayaan (harta) dan kehormatan kaum Muslimin dengan kehidupan dan tubuhnya. Ini tidak dapat dihentikan (seruan untuk menghentikan agresi melawan kaum Muslimin).
Terlihat bahwa mereka ingin kita melawan agresi dengan diskusi penuh kedamaian dan dengan selebaran-selebaran. Sangatlah aneh seseorang yang berpikir demikian. Dapatkah mereka benar-benar meyakini apa yang mereka katakan ? Atau tidakkah mereka mengerti kebodohan seruan mereka dan tentang apa mereka menyeru kita ?
Bukanlah Allah yang menyeru kita kepada kebodohan-kebodohan, ini hanya tentang kecenderungan dan kecintaan kita kepada dunia dan kebencian kita kepada kematian, sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama yang menggambarkan kondisi umat Islam seperti buih di lautan. Sejarah menceritakan kepada kita beberapa fenomena ketika kita melihat sejarah Bani Israel dan janji kemenangan dan desakan setelah itu, agar mereka meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama mereka. Kita mendapatkan kemiripan, ketika kita tidak mau mengubah kondisi kita, ‘kebiasaan-kebiasaan’ buruk yang kita lakukan.
Kejadian di masa lalu ketika kaum Tartar yang ingin menduduki tanah-tanah kaum Muslimin selama bertahun-tahun. Meskipun demikian orang-orang tidak bergerak untuk menarik urat saraf untuk melawan mereka. Kejadian serupa terjadi di Al-Sham (tempat konferensi-konferensi Islam dilaksanakan), ketika terjadi pendudukan oleh orang-orang kafir. Pada waktu itu penguasa di sana mengirim banyak ulama dan memotivasi mereka untuk berjihad, dan tentu saja hal ini tidak membantu kecuali sedikit.
Apakah keanehan ini masih terjadi sekarang, jika masyarakat menjadi penakut dan tidak merespons seruan jihad atau menyeru perang, kemudian apa yang akan mereka lakukan jika ‘tokoh-tokoh’ mereka menanamkan pada mereka kehinaan dan kekalahan? Jika mereka menyiapkan kebangkitan dengan slogan mereka tentang reformasi dan perdamaian ? Itulah mengapa masyarakat mulai berkata,“Ini bukan saatnya berperang, ini saatnya islah dan reformasi.”
Kita berdoa kepada Allah agar masyarakat mengerti bahwa jihad dan makna jihad memiliki status hukum yang sama. Kita juga berharap agar masyarakat mengerti bahwa mereka-mereka yang berjihad telah memutuskan dan mengerti arti jihad, apakah itu bermanfaat atau tidak. Kita berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga kita tetap teguh dalam Islam ini dan memiliki ‘keberanian’ melawan kebatilan dan mencegah kita dari kebingungan dan keraguan. Amin. (arrahmah.com)