Pesona Novel Ayat-ayat Cinta, telah menjulangkan nama penulisnya, Habiburrahman elShirazy, ke posisi Tokoh Perubahan 2007 versi Republika. Seperti sastrawan dan budayawan Mesir Mahmud Abbas alAqqad, Thaha Husein dan lainnya, yang menjadi makelar zionis melalui gagasan multikultural dan multikeyakinan. Agen zionis, memang tidak pernah kehilangan cara untuk menemukan kaki tangan di bidang sastra dan budaya. Membaca novel ayat-ayat cinta menyisakan beragam kesan. Mungkinkah penulisnya dianggap figur yang tepat sebagai makelar zionisme melalui misi Pluralisme Agama?
Lahir di Semarang, Kamis 30 September 1976, Habiburrahman el-Shirazy, memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen; sambil belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al-Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan KH. Abdul Bashir Hamzah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995.
Setelah itu melanjutkan pelajaran ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadits di Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 lulus Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Studies di Kairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri.
Kembali ke tanah air pada pertengahan Oktober 2002, ia diminta ikut mentashih Kamus Populer Arab-Indonesia yang disusun oleh KMNU Mesir dan diterbitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, (Juni 2003). Ia juga menjadi kontributor penyusunan Ensiklopedi Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Pemikirannya, (terdiri atas tiga jilid ditebitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, 2003).
Antara tahun 2003-2004, ia mendedikasikan ilmunya di MAN I Jogjakarta. Selanjutnya sejak tahun 2004 hingga 2006, ia menjadi dosen Lembaga Pengajaran Bahasa Arab dan Islam Abu Bakar Ash-Shiddiq UMS Surakarta. Saat ini ia mendedikasikan dirinya di dunia dakwah dan pendidikan lewat karya-karyanya, pesantren Karya dan Wirausaha Basmala Indonesia bersama adik dan temannya.
Dengan reputasi demikian, beralasan bila sebagian pembaca mengidolakannya bagai HAMKA Muda. Seperti juga dalam bidang pemikiran dan politik, khalayak Indonesia pernah menyematkan nama Natsir Muda pada diri Nurcholish Madjid. Apalagi penulis Ayat-ayat Cinta cukup berprestasi internasional yang lama menimba ilmu di al-Azhar Mesir, dan akrab dengan budayawan serta novelis di Mesir yang terkenal sebagai sarang pembinaan zionis.
Turis dan Dzimmi
Begitu gegap gempita publikasi Novel Ayat-ayat Cinta, menyebabkan banyak pembaca kehilangan daya kritis. Sehingga nyala api pluralisme menerobos masuk imajinasi penulis, tak dirasa adanya. Pada mulanya, barangkali sekadar titipan ide, namun jelas titipan dimaksud menjadi ide sentral rangkaian kisah cerita Novel Ayat-ayat Cinta.
Pada bagian ketiga di bawah judul “Kejadian di Dalam Metro” misalnya, berlangsung cekcok antara rombongan turis Amerika dengan penumpang asli Mesir yang meledakkan amarahnya pada bule-bule itu, sebagai ganti kejengkelan mereka pada pemerintah Amerika yang arogan dan membantai umat Islam di Afghanistan, Iraq, dan Palestina. Namun, dalam cekcok tersebut penulis menyalahkan orang Mesir, dan memosisikan turis kafir yang berkunjung kenegara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai ahlu dzimmah yang memiliki hak-hak kekebalan diplomatik, dengan manipulasi dalil agama. “Ahlu dzimmah adalah semua non Muslim yang berada di dalam negara kaum Muslimin, masuk secara legal, membayar visa, punya paspor, hukumnya sama dengan ahlu dzimmah, darah dan kehormatan mereka harus dilindungi,” katanya.
Sebagai pembenaran atas pembelaannya pada bule Amerika itu, penulis mencomot sebuah hadits: “Barangsiapa menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku, dan siapa yang menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah.”
Padahal, menempatkan turis asing sebagai dzimmi di negeri Muslim bukan saja tidak memiliki argumentasi syar'iyah, tetapi juga merusak tatanan syar'i secara keseluruhan. Persoalannya, bukan pada perlakuan kasar atau halus terhadap turis, melainkan pada posisi yang disematkan, bahwa turis tidak sama dengan ahlu dzimmah, baik hak maupun kewajibannya. Pembayaran visa tidak bisa disamakan dengan jizyah. Sebab, legalitas hukum bagi turis dan ahlu dzimmah memiliki perbedaan-perbedaan sehingga mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.
Perbedaan itu antara lain: Pertama, Ahludz dzimmah (dzimmi) adalah orang kafir yang menjadi warga Negara Islam. Sedangkan turis tidak memiliki hak kewarganegaraan, dan hanya memiliki hak pelayanan sebagai tamu.
Kedua, Dzimmi mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bilamana pemerintah tidak bisa memenuhi hak kewarganegaraan orang dzimmi, maka mereka tidak wajib lagi membayar jizyah (pajak). Sedangkan pembayaran visa turis yang berkunjung ke sebuah negara Islam tidak dapat dianggap sebagai jizyah, karena orang Islam yang bukan penduduk negara yang dikunjunginya juga harus membayar visa. Apakah orang Islam yang berkunjung ke negara Islam juga dianggap dzimmi oleh pemerintah negara tempat dia berwisata?.
Ketiga, pada keadaan darurat, pemerintah negara Islam dapat mewajibkan penduduk dzimmi untuk menjalani wajib militer. Berbeda dengan turis, apabila datang ke suatu negara yang sedang dalam keadaan darurat perang tidak bisa dipaksa ikut wajib militer bagi negeri yang dikunjunginya.
Perbedaan prinsip di atas, nampaknya kurang dipahami oleh penulis novel, dan lebih terpesona dengan misi kemanusiaan global yang menjadi gerak nafas Pluralisme; sehingga menghilangkan kewaspadaan. Boleh jadi turis itu justru musuh yang sedang menyamar, meneliti, atau menjalankan misi intelijen. Novelis muda lulusan filsafat AlAzhar Cairo itu, bergaya ulama besar ahli fiqih dan ahli hadits berkaliber dunia, lalu mengintroduksi hadits dzimmi sebagai “ijtihad cemerlang”.
Untuk menetralisir kecurigaan, dan menangkal virus berbahaya terutama bagi pembaca muda yang jadi sasaran utama novel ini, sebenarnya penulis dapat mengimbanginya dengan wacana pemikiran yang adil, bahwa dalam banyak kasus kedatangan turis-turis kafir di negeri Islam membawa dampak kerusakan moral dan sosial di tengah masyarakat muslim. Bahkan sebagian sengaja disusupkan sebagai mata-mata terselubung. Fakta ini dapat terlihat jelas dan ditemukan oleh para pejabat intelijen negara bahwa turis biasa dipakai kedok oleh para agen intelijen untuk menjalankan operasinya. Namun, penulis lebih mendahulukan “baik sangka” daripada waspada, suatu sikap yang telah membuat umat Islam berulangkali tertipu dan dininabobokkan gagasan harmonisasi antar umat beragama, tanpa mempertimbangkan akibatnya yang berbahaya.
Namun penulis, alpa melakukannya. Maka, tidak aneh bila terdapat pembaca kritis mempertanyakan, misi siapa yang hendak dipasarkan oleh penulis di balik novelnya yang best seller tersebut?. Dilihat dari simplifikasi penggunaan dalil-dalil agama untuk menopang argumentasi, dan memanipulasi tujuan politik yang halus, merupakan ciri khas komprador zionisme yang bergentayangan di tengah-tengah masyarakat Muslim. Maka bukan mustahil, Novel Ayat-ayat Cinta yang sudah 30 kali cetak ulang dengan tiras 500 ribu eksemplar, menjadi pembuluh darah halus yang mengalirkan misi pluralisme agama yang telah di format oleh zionisme internasional dan dipasarkan di tenga-htengah masyarakat Muslim Indonesia.
Tanpa pretensi “buruk sangka” terhadap novelis muda Habiburrahman, kisah sampingan yang ditampilkan berkaitan dengan turis Amerika itu, kita perlu mewaspadai adanya celupan misi zionis dalam obrolan seperti Kejadian di Dalam Metro itu. Sudah banyak pemuda yang diperalat untuk mengembangkan faham toleransi dan pluralisme agama melalui tokoh-tokoh Indonesia yang dianggap cemerlang dan berpengaruh. (arrahmah.com)