27 October 2009
Konsisten pada Amanah
Sudah delapan tahun Ustadz Hasyim Abdullah melayani narapidana terorisme. Aktivitas ini dilakoni sejak bergabung dengan Tim Pembela Muslim 2001.
Nama Ustadz Hasyim Abdullah sangat dikenal di kalangan ikhwan yang terbelit tudingan kasus terorisme. Dia terlibat pembelaan dalam sidang hingga melayani kebutuhan mereka di penjara. Inilah sikap dan pandangannya soal cap teroris itu.
Suara tilawah Al Qur'an yang dilantunkan tiga puluh santri secara bersama-sama terdengar merdu dan padu. Siang itu Sabtu (10/10), mereka sedang membaca Surat at-Taubah, surat urutan kesembilan Al Qur’an yang banyak membahas tentang pengampunan Allah.
Mereka adalah sebagian santri Pondok Pesantren Missi Islam di bilangan Koja, Jakarta Utara. Lokasinya di tengah permukiman padat penduduk. Bangunan pondok tersebut sederhana. Ada sebuah lapangan bulu tangkis di pelatarannya.
“Saat ini ada 246 santri dari seluruh Indonesia yang belajar di sini,” jelas Ustadz Hasyim Abdullah, pengasuh pondok tersebut.
Sejak 1983, pria asal Malang, Jawa Timur itu, tinggal di wilayah tersebut. Selain menjadi pengasuh pondok, dia aktif sebagai anggota dewan syura Tim Pengacara Muslim (TPM). Karena amanahnya sebagai bagian dari TPM, sejak 2001, Hasyim mendampingi orang-orang yang dituduh terlibat kasus terorisme.
“Kalau Densus sekarang membagi-bagi istilah ada operator, ada kurir, ya saya ini kurir. Tapi, hanya kurir beras dan lauk-pauk untuk ikhwan yang di dalam (di penjara, Red), tak lebih dari itu,” katanya, lantas tersenyum.
Hasyim sekarang mendampingi puluhan napi kasus teror yang masih berada dalam penjara. “Di Nusakambangan ada 15 orang, di Cipinang lima orang, di Polda ada 11 orang,” ungkapnya.
Saat Abu Bakar Ba’asyir tersangkut kasus hukum terkait pelanggaran imigrasi pada 2001 sampai bebas 14 Juni 2006, Hasyim juga setia mendampingi. Saat itu, dia ditugaskan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai asisten pribadi Ba’asyir. Trio kasus bom Bali, Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas, juga di fasilitasi Hasyim sampai proses hukumnya selesai dan dieksekusi.
“Densus tentu paham posisi saya. Kalau dicurigai, mungkin saja. Tapi, saya konsisten saja dengan amanah ini,” tegasnya.
Jika ada kebutuhan ikhwan-ikhwan yang mendesak, Hasyim akan mengusahakan. Dananya berasal dari infak umat Islam atau perorangan. “Kalau dulu, memang beras dan lauk-pauk diusahakan dibawa dari luar. Sebab, di dalam memang di bawah standar. Istilahnya, nggak ada garamnya. Tapi, sekarang alhamdulillah, sudah ada perbaikan. Sudah ada rasa asinnya,” ujarnya.
Dia mencontohkan, di Lapas Cipinang, kantin di dalam penjara sudah beroperasi. Para napi teroris memang tetap membawa beras dan lauk-pauk sendiri, tapi dimasak oleh pengelola kantin. “Format baru kamar atau selnya tidak memungkinkan lagi untuk memasak sendiri,” jelas Hasyim yang hampir dua minggu sekali berkeliling ke tahanan demi tahanan itu.
Bertahun-tahun bergaul dengan para ikhwan, dia tahu banyak cerita tentang mereka. Termasuk, tentang “pembinaan” oleh polisi. Istilah Densus 88, program deradikalisasi. “Memang saya dengar ada. Tapi, jangan salah lho, mereka (para ikhwan, Red) itu berangkat dari pemahaman akidah tentang Jihad dan Dakwah. Jadi, tidak bisa dihilangkan dengan hipnosis atau yang semacamnya,” tegasnya.
Dia menyatakan, polisi sering melakukan pendekatan personal dengan para ikhwan di penjara. Misalnya, mencukupi kebutuhan finansial mereka, membiayai jika ada keluarga yang sakit, atau membiayai sekolah anaknya. “Itu pilihan masing-masing. Mereka sebenarnya orang front, orang militer. Jadi, kalau dipaksa hidup normal, harus diakui, secara permodalan mereka lemah,” tuturnya.
Namun, dia menegaskan, masih banyak ikhwan yang tetap mandiri dan menolak bantuan polisi. Sebagian di antara mereka yang sudah keluar, walau dengan susah payah, akhirnya juga bisa hidup normal dan kembali ke masyarakat dengan baik.
“Verifikasinya memang susah. Tidak bisa hanya dilihat dari penampakan luar,” katanya. Misalnya, celana di atas mata kaki (isbal), gamis atau jubah, jenggot, serta tanda bekas sujud di dahi tidak bisa dikaitkan dengan kelompok itu. “Di sini,” katanya sambil memegang dada untuk menjelaskan akidah sebagai penentu.
Bahkan, Hasyim pernah menerima curhat (keluhan) dari seorang terpidana kasus terorisme yang telah bebas. “Saya ini repot, Pak Hasyim. Di kalangan ikhwan, saya dicurigai. Tapi, oleh Densus, saya diinteli terus,” ungkapnya menirukan ikhwan tersebut.
Keluhan itu disampaikan saat kebetulan bersama-sama membesuk Imam Samudera cs di Nusakambangan. “Saya bilang, sabar saja, itu ujian,” katanya.
Sebenarnya, jelas Hasyim, tanpa program deradikalisasi pun, napi-napi tersebut sudah “bersih”. “Mereka itu dai. Di penjara adalah ladang dakwahnya. Mereka membina napi yang lain,” tegas Hasyim.
Dia mengungkapkan, almarhum Amrozi bisa menyadarkan banyak napi kelas kakap untuk insaf dan bertobat. “Sekarang, hal itu dilanjutkan oleh yang masih dalam tahanan. Bahkan, napi pembunuh pun disadarkan,” ungkapnya.
Dia mencontohkan seorang residivis di Nusakambangan yang selalu menganiaya teman satu selnya hingga luka berat. Begitu seterusnya, tiap ganti sel, selalu saja ada yang luka. “Tapi, begitu satu sel dengan ikhwan kami, dia sadar. Sekarang, dia rutin mengaji. Setiap hari tilawah Al Qur'an,” ujarnya.
Di setiap penjara (Batu, Permisan, Cipinang, maupun Polda Metro), kata Hasyim, ikhwan-ikhwan tersebut mengajari baca Alquran serta tata cara wudu dan salat. “Ormas-ormas yang dipercaya Dirjen Lapas mengelola pembinaan agama, berterima kasih kepada ikhwan-ikhwan itu. Walaupun disebut teroris, di setiap penjara, mereka disegani dan mampu mengubah orang menjadi lebih baik,” jelasnya.
Hasyim menyesalkan masyarakat terlalu percaya pada propaganda dan definisi Amerika Serikat tentang terorisme. “Ini sebenarnya soal sebab akibat. Mereka itu bukan teroris, tapi mujahid. Selama ini tidak pernah tuntas dicari solusi penyebabnya. Untuk kasus Indonesia misalnya, hingga kini belum jelas pengungkapan dalang kasus Ambon atau Poso dan umat Islam selalu disalahkan. Juga di Afghanistan, Palestina, Iraq, Thailand Selatan, serta tempat-tempat lain,” tegasnya.
Hasyim yakin mereka yang dianggap teroris punya prinsip sendiri. “Kita boleh tidak sepakat karena di sini (Indonesia) adalah wilayah aman. Tapi, menolak jenazahnya adalah juga sebuah kejahatan dan pelanggaran berat HAM serta dosa besar di sisi Allah,” tuturnya.
Selama akar teror, yakni ketidakadilan, tidak dicarikan solusi, Hasyim pesimistis ada perdamaian sejati. “Sekarang ini semu saja perdamaiannya. Pemerintah terlau fobia dan menutup-nutupi kasus-kasus itu. Tokoh-tokoh sentral seperti almarhum Noordin juga dibunuh, sehingga tak jelas bagaimana sebenarnya. Bisa saja ini rekayasa dan skenario intelijen,” tegasnya. (kaltimpost/suara-islam.com)