11 October 2009
Tirulah Soraya Abdullah
Oleh: Sirikit Syah
Pekan lalu media massa, khususnya program infotainment di televisi, menyoroti sosok Soraya Abdullah. Mantan artis ini diberitakan tersangkut jaringan teroris, terlibat pengeboman dua hotel di Kuningan, Jakarta, Juli lalu. Agak aneh juga mengapa artis kok diberitakan dalam berita keras seperti terorisme. Ya, karena dia artis, makanya beritanya masuk infotainment. Tapi tetap aneh: mengapa program infotainment memuat hal-hal keras seperti terorisme? Inilah anehnya dunia televisi Indonesia. Apa saja bisa dipaksakan.
Kasihan Soraya, hanya karena tidak pernah muncul di dekat kamera wartawan (tidak ‘banci kamera’ seperti selebritis lainnya), dia dikabarkan “menghilang”. Lalu, dia dikabarkan menjadi kotributor media online Ar Rahmah.com, dan terlibat jaringan terorisme seperti Mohammad Jibril sang pemred. Lebih parah lagi, Soraya yang belum juga menampakkan dirinya itu dibongkar-bongkar kehidupan pribadinya, masa lalunya, termasuk wajahnya sebelum bercadar.
Kejam nian media televisi di Indonesia. Orang seperti Soraya Abdullah tentu jengkel sekali. Ingin membantah dan menyampaikan suaranya, tapi enggan muncul di layar televisi. Tidak muncul kok dituduh “lari”? Serba salah. Karena kabar tentang dirinya telah menggelinding bak bola salju, artinya mungkin dampaknya makin besar bagi keluarga besarnya yang merasa terganggu, baru-baru ini Soraya mengeluarkan press release.
Dalam pernyataan pers itu Soraya dengan gagah berani mengakui bahwa dirinya adalah jemaah Ustadz Abu Jibril (ayah Mohammad Jibril) dan kontributor Ar Rahmah.com. Dia bahkan membela pengajian Abu Jibril yang semakin gencar diberitakan miring oleh orang-orang yang tak memiliki dasar. Menurut Soraya, pengajian Ustadz Abu biasa-biasa saja: mengajarkan kebaikan-kebaikan, menganjurkan untuk menjauhi keburukan-keburukan. Sama seperti pengajian lainnya. Bahkan, tidak benar kalau pengajian itu tertutup. Siapa saja yang tertarik, boleh datang. Tidak adil kalau orang tidak tertarik, curiga, tidak pernah datang, lalu mengembuskan kabar bahwa pengajian itu “misterius”.
Soraya dalam pernyataannya yang panjang lebar, juga menjelaskan misi Ar Rahmah.com dan posisinya di situ. Lalu, mengapa dia tidak muncul? Dia mengatakan, dia sudah lama pindah keluar Jakarta, jauh sebelum peristiwa bom Kuningan. “Saya ingin lingkungan pendidikan yang baik bagi anak-anak dan keluarga kami,” katanya. Sebuah alasan yang sangat masuk akal, mengingat pengalaman dalam pergaulan kota Jakarta.
Soraya mengecam keras media massa dan para narasumber tak bertanggungjawab yang menyerang dirinya. Kepada Ketua RT/RW di kampungnya yang menyatakan Soraya tidak pamit ketika pindah, dia mengatakan: “Telah berusaha berkali-kali menemui, tetapi selalu tidak ada ditempat. Pak RT/RW minta saya bertamu malam hari, hal yang tak mungkin bagi saya sebagai muslimah.” Dia juga tampak marah sekali, dan berjanji akan memperkarakan, kepada media yang masih memasang gambarnya tanpa penutup muka (cadar). Menurutnya wajah adalah salah satu sumber fitnah, dan dia menutupnya untuk menghindari fitnah. Dia sangat keberatan ketika media menayangkan wajahnya (yang memang cantik) ketika dia masih menjadi artis.
Saya terkesan pada pribadi Soraya Abdullah. Di tengah maraknya peristiwa kawin cerai artis, isu-isu perselingkuhan, bahkan trend kebanggaan hamil atau punya anak tanpa suami/bapak yang jelas; Soraya menentukan sikap. Dia memilih menghayati ajaran Islam, menjauhi pergaulan Jakarta, menutup wajah, mengamankan anak-anaknya dari fitnah dan godaan duniawi. Lebih mengagumkan lagi, dia tidak sebunyi-sembunyi menyatakan stand-point-nya. Press releasenya menunjukkan bahwa she has nothing to hide. Tak ada yang disembunyikan. Tak ada yang ditakutkan. Ya, dia jemaah pengajian Abu Jibril, bercadar, kontributor Ar Rahmah.com, so what? Memangnya kenapa?
Seandainya polisi memiliki indikasi sedikit saja atas kesalahan atau keterlibatan Soraya Abdullah, tentu dengan mudah dia dapat ditemukan. Soraya tidak mau tampil di ranah publik, tetapi bukan berarti dia tak dapat ditemukan oleh aparat kepolisian. Media massa mengaburkan hal itu. Ketertutupan Soraya dan keluarganya diartikan sebagai upaya menghilangkan jejak.
Tidak banyak Muslim yang gagah berani seperti Soraya Abdullah. Ada pula Muslim yang segan diketahui kesalehannya. Takut dianggap radikal atau fundamentalis, seorang pemuda di Jember yang diberitakan menerima surat Noordin M Top, tampak menutup diri. Kepada wartawan, kakaknya mengatakan “Dia tidak rajin ke masjid kok. Bahan sholatnya juga bolong-bolong.” Seolah-olah rajin ke masjid dan sholat itu hal yang memalukan dan mencemaskan.
Di tengah-tengah masyarakat yang hedonis, sekular, memuja pluralisme di atas fundamentalisme, sikap seperti Soraya ini sesuatu yang berbeda, tidak populer, memancing kecurigaan. Namun Soraya dengan berani mengakui keberadaan dirinya sebagaimana adanya. Tidak berkilah, tidak beralibi. Seharusnya kita, yang bukan artis atau mantan artis, dapat belajar dari Soraya. Semoga Allah melindungi Soraya dan keluarganya, dimanapun dia berada. (sirikitsyah.wordpress.com)