04 November 2009

SKANDAL BANK CENTURY


Media dalam Pusaran Kisruh KPK-Kepolisian:
Jangan Tersesat Karena "Smoke Screen"

Saya yakin, sebagian besar pembaca pernah mendengar istilah "smoke screen". Salah satu definisi dari istilah ini adalah: "an action intended to conceal or confuse or obscure" (sebuah tindakan yang diniatkan untuk menyembunyikan atau menyesatkan atau mengaburkan) . Makna konkretnya bisa seperti ini: ada satu kejadian yang sebetulnya amat penting, namun kejadian ini ditutupi oleh kejadian lainnya dengan bobot yang seakan-akan tak kalah pentingnya namun sesungguhnya kejadian yang lainnya ini merupakan sebuah "ciptaan" untuk menyelubungi kejadian utama tadi. Padanan lain dari smoke screen adalah "tip of an iceberg" (pucuk dari gunung es). Pucuk inilah yang terlihat oleh orang di atas permukaan laut. Namun ketika menyelam lebih dalam, tertumbuklah kita pada bongkahan es raksasa yang bisa sangat membahayakan bagi pelayaran kapal.

Kisruh yang kini melanda KPK akibat "perseteruan" dengan kepolisian dalam pandangan sejumlah kalangan tidak lain adalah "smoke screen". Mereka menduga ada hal atau masalah lain yang sebetulnya merupakan inti persoalan, namun agar inti masalah itu tidak terkuak, dimainkanlah kisah perseteruan ini. Kecurigaan mereka dilandasi setidaknya pada isi rekaman yang telah menggegerkan jagad politik Indonesia sepanjang dua pekan terakhir ini, meskipun kebenaran rekaman dan isinya itu masih harus dibuktikan lebih jauh.

Dalam jurnalisme, smoke screen ini sering tampil dalam beragam wujud. Kita langsung ambil saja contoh yang paling terkenal dan spektakuler, yaitu skandal Watergate yang menjengkangkan Presiden AS Richard Nixon dari kursi kekuasaanya.

Smoke screen kasus ini adalah pencurian/pembobolan kantor pemenangan pemilu Partai Demokrat (partai lawannya Presiden Nixon dalam pemilu presiden) pada sebuah malam di bulan Juni 1972 (tepatnya tanggal 17). Mulanya itu terkesan seperti pencurian biasa, pencurian kecil yang hanya cukup untuk menjadi pengisi halaman metropolitan, bukan halaman politik dari sebuah media cetak. Lingkaran kekuasaan Nixon pun menghembuskan smoke screen tersebut, meyakinkan bahwa tidak ada kandungan politis dari peristiwa itu; itu hanya kasus pencurian yang tidak istimewa.

Namun duet wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, ternyata tak mau terkecoh, tersesatkan, terkelabui, terjebak oleh smoke screen ini. Dengan kesabaran dan kegigihan yang memang layak untuk membuat mereka mendapatkan predikat sebagai legenda pada akhir rangkaian liputan yang melelahkan sepanjang sekitar dua tahun dua bulan itu, duet
wartawan tadi akhirnya menorehkan reputasi gemilang sebagai wartawan investigatif yang paling fenomenal sepanjang masa. Modal utama mereka adalah: kegigihan dan kesabaran itu tadi, ada juga faktor keberuntungan karena mendapatkan narasumber yang sangat membantu (yakni seseorang yang disebut sebagai Deep Throat), juga kemauan dan kecerdasan dalam menyusun sebuah kerangka teori, hipotesis, bangunan konspiratif. Kemampuan membangun kerangka ini merupakan modal dasar dalam jurnalisme investigatif. Kerangka inilah nantinya yang harus dan perlu diisi dengan "daging" berupa informasi, data, bukti, yang tentu menuntut kerja keras para wartawan di lapangan, dan barangkali juga lobi tingkat tinggi di tingkat pemimpin redaksi dan/atau pemilik media.

Pertanyaan penting yang harus diutarakan dari situasi kisruh KPK versus kepolisian ini adalah: apa yang ada di balik tabir asap itu?. Apa sebetulnya bongkahan es raksasa yang tersembunyi di bawah permukaan laut itu?. Jawabannya tentu saja bisa beragam, namun salah satu yang kini mulai gencar disuarakan oleh sejumlah kalangan adalah: kasus Bank Century. Daftar dari mereka yang menyuarakan soal kasus Century ini kini kian panjang. Misalnya saja Abdurrahman Wahid, yang dengan tegas mengutarakan ini saat dia bertemu dengan jajaran pimpinan KPK di Gedung KPK, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, hari Sabtu lalu (lihat berita detiknews, Sabtu, 31 Oktober 2009, pukul 12.31 WIB). Dalam pertemuan itu Gus Dur berpesan agar KPK (meskipun kini sedang dirundung susah) tetap memusatkan perhatiannya pada penanganan kasus Bank Century, dan jangan terjebak mengurusi Bibit dan Chandra yang kini menjadi tahanan polisi.

Tokoh penting lainnya yang bersuara sama adalah Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammdiyah. Seperti dikutip Kompas Minggu, 1 November 2009, Din mengatakan dengan tegas: "Jauh-dekat, kasus itu ada kaitannya dengan Bank Century yang diduga melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara.

Ihwal kasus Century ini juga menjadi landasan pijakan pengamat politik, Eep Syaefulloh Fatah. Ketika memberikan orasi dalam unjuk rasa membela KPK yang berlangsung di Bundaran HI, Senin kemarin, Eep meminta kewenangan seluas-luasnya bagi Tim Pencari Fakta mengenai kisruh KPK-kepolisian ini, yang dibentuk Presiden SBY. Kewenangan itu termasuk akses untuk mendapat data dan informasi terkait kasus Bank Century. Eep yakin, semua permasalahan yang ada terhadap perseteruan Polri dan KPK yang berujung pada penahanan Bibit-Chandra tidak terlepas dari kasus Bank Century (lihat Kompas.com, 2 November, pukul 22.42 WIB). Catatan:
saya sepakat dengan Eep bahwa kasus Century harus diusut; namun saya berbeda dalam hal siapa yang harus diberi otoritas melakukan pengusutan ini. Bagi saya, wewenang untuk mengusut Century bukan pada TPF. Alasan lebih rinci saya berikan menjelang bagian akhir dari catatan ini.

Dalam kemasan yang berbeda namun sama intinya, pengamat ilmu komunikasi politik, Effendy Gazali lewat artikel opininya di Kompas, Selasa, 3 November halaman 7), dengan tegas mengaitkan pula kehebohan yang mendera KPK (dan kini berbalik menyapu kepolisian), dengan Century, bahkan sejak dari judulnya "Cicak versus Buaya di Puncak Gunung Es Century".

Oh iya, tak lupa pula saya menyebut nama Farid Gaban yang berada dalam "aliran kepercayaan" yang melihat bahwa kasus Century berada di balik tabir asap perseteruan cicak versus buaya ini (sori ya Pak Kapolri, saya tak sudi memenuhi imbauan Anda supaya jangan lagi menggunakan istilah cicak dan buaya ini, karena menurut Anda istilah itu hanyalah perbuatan oknum. Saya ingin numpang tanya dikit nih, Pak: kok baru sekarang dikatakan bahwa itu perbuatan oknum?. Bukankah sang oknum sudah sekian lama bercokol dengan nyaman di sekitar sang kapolri?. Selama ini kemane aje, beh?!.

Andai kita terima saja logika "oknum" ini, maka pertanyaan lanjutannya: mau diapakan sang oknum?. Kalau lihat berita tvOne subuh tadi, yang merujuk pada berita vivanews, yang merujuk pada salah satu sumber terpercaya di mabes polri, sang oknum ini sudah dinonaktifkan (meskipun dibantah oleh beberapa petinggi kepolisian). Katakanlah berita penonaktifan itu benar; maka pertanyaan lanjutannya adalah: apakah cukup? ataukah perlu dipecat secara tak hormat karena sang oknum itu pula yang sudah membuat wajah polisi babak-belur, bengep-bengep kayak habis latih-tanding dengan Mike Tyson...

Agak menarik diri ke masa yang tak terpaut jauh sebelum kehebohan di periode yang sekarang ini, kasus Century sebetulnya sudah disebut-sebut juga oleh sejumlah kalangan. Misalnya saja Bambang Soesatyo, yang menentang keputusan pemerintah untuk memberikan dana talangan sebesr Rp 6,76 triliun guna menyelamatkan Bank Century karena apabila tidak diselamatkan maka akan menimbulkan "dampak sistemik" (sesuatu yang sebetulnya hanya asumsi). Bambang melontarkan dugaan bahwa kucuran dana sebesar itu dititipkan untuk membiayai kegiatan politik tertentu (lihat Republika online, Selasa, 1 September 2009, pukul 17.06 WIB; Dana Bank Century Diduga untuk Kegiatan Politik)

Tak kurang dari Jusuf Kalla sendiri (saat itu masih Wapres) memberikan semacam indikasi mengenai besarnya muatan kasus dana talangan untuk Bank Century ini. Menurut JK, jika kasus Century ini diungkap, bisa diibaratkan dengan membuka kotak Pandora, dengan isinya ibarat bola liar yang bisa bergerak menerabas banyak pihak. Itu sebabnya JK tidak bersedia memberikan banyak keterangan berkaitan dengan kasus penyelamatan Century ini (lihat Jawapos Online, Selasa, 01 September 2009 pukul 17:06:00, Demokrat Tolak Tanda Tangani Petisi Keprihatinan Kasus Century)

Saya sendiri sudah sejak menjelang akhir Agustus lalu menyimpan setumpuk pertanyaan mengenai latar belakang, proses dan implikasi dari keputusan pemberian dana talangan untuk Century tersebut. Kawan-kawan di milis ini mudah-mudahan masih ingat, ada berbagai catatan yang saya siapkan dan saya posting ke milis ini, termasuk juga kritik keras saya terhadap Majalah Tempo karena posisi editorialnya yang terkesan memberi pembelaan, atau setidaknya memaklumi lahirnya keputusan penalangan itu (lengkap dengan artikel dari Bambang Harymurti, yang bukan sekadar memaklumi namun juga membela habis bahwa penalangan tersebut memang sebuah langkah yang harus dan perlu dilakukan pemerintah).

Jika ditotal, saya menulis catatan sekitar 12.000 kata, dalam tujuh kali posting. Jika ditambah dengan posting yang sedang Anda baca sekarang ini (jumlahnya sekitar 3.200 kata), maka jumlah totalnya menjadi sekitar 15.200 kata. Angka ini masih ditambah dengan dua tulisan yang diterbitkan di Koran Tempo (masing-masing sekitar 1.000 kata). Salah satu tulisan di Koran Tempo ini berjudul "Mendambakan JK Menjadi Deep Throat" (dimuat di edisi Jumat, 9 Oktober 2009), dimana saya membandingkan JK dengan Deep Throat, yang sudah saya sebutkan di awal, yang menjadi salah satu tokoh kunci yang banyak memandu duet wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, saat mereka mengungkap skandal Watergate (termasuk di dalam skandal ini adanya aliran dana yang tidak sah yang masuk ke Partai Republik, partainya Presiden Nixon. Nixon terpilih untuk kedua kalinya di tengah badai skandal Watergate ini, namun harus mengundurkan diri sebelum pemakzulan (Impeachment) menjangkaunya, terutama terkait dengan tindakannya menghapuskan rekaman suara dalam sebuah pita rekaman yang berisi perintah dari anak buahnya kepada pihak tertentu untuk menjalankan langkah yang melawan hukum demi memenangi pemilu keduanya itu).

JK sebetulnya memiliki peluang untuk memainkan peran sebagai Deep Throat dalam kasus Century, namun hingga hari ini kita belum melihat tanda-tanda bahwa JK bersedia melakukannya.

Jumlah komentar yang sempat saya buat, seperti terdata di atas barusan, masih perlu juga ditambah dengan dua bahan presentasi untuk dua diskusi publik yang mengikutsertakan saya sebagai salah satu narasumber. Yang pertama adalah debat dengan kawan-kawan Majalah Tempo (diwakili oleh Redaktur Pelaksana, M. Taufiqurohman) , yang diprakarsasi oleh dan berlangsung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Jumat sore, 9 Oktober 2009.

Untuk keperluan ini, saya menyiapkan 37 lembar presenetasi/slide powerpoint. Yang kedua adalah diskusi dengan tema "Century: Siapa Dalang, Siapa Korban", yang diselenggarakan oleh Sugeng Sarjadi School of Government, di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Rabu siang, 14 Oktober 2009, dengan empat pembicara lainnya (Ichsanuddin Noersy, Christianto Wibisono, Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengawasan Budi Rochadi, dan Hendri Saparani), dengan moderator Effendy Gazali. Ada 17 lembar presentasi yang saya sampaikan dalam diskusi ini.

Tentu saja gagasan mengenai smoke screen ataupun bongkahan es raksasa di balik kisruh KPK-kepolisian ini akan mendapatkan penentangan, mungkin juga tertawaan atau bahkan cibiran dari sejumlah pihak, termasuk sebagian kawan-kawan di milis ini yang tak pernah mau membuka mata dan hati mengenai kemungkinan adanya konspirasi di balik berbagai peristiwa penting. Saya tentu tak bisa memaksa bahkan membujuk mereka. Saya hanya bisa menyayangkan, karena dengan itu mereka telah membiarkan tertutupnya sebuah peluang besar untuk mengungkap sebuah kasus penting, yang jika mereka berhasil tentulah akan membuat nama mereka tercetak dengan tinta platina dalam sejarah jurnalisme kontemporer Indonesia. Dan lebih dari itu, tentu saja dengan itu mereka akan memberikan sumbangsih yang luar biasa besar bagi rakyat Indonesia.

Sebagian besar media memang tampak masih sangat asyik memusatkan perhatian pada kasus perang terbuka KPK-kepolisian ini. Tentu saja tak ada yang salah dengan sikap ini, karena peristiwa tersebut jelas bernilai berita. Namun dia menjadi salah ketika perhatian, energi dan waktu hanya dihabiskan semata-mata pada satu titik itu saja, tanpa mau mengintip-intip ke balik tabir asap tadi. Saya sempat berkomunikasi dengan beberapa kawan di media, baik di jajaran petinggi maupun di lapis menengah. Hampir semua mereka yakin 100% bahwa kisruh KPK-kepolisian ini tak ada kaitannya dengan hal atau peristiwa lain. Salah seorang kawan itu, misalnya, mengatakan bahwa fokus mereka memang ingin membabat kesewenang-wenangan polisi. Kawan lainnya mengatakan bahwa mereka tidak menemukan jalinan tali-temali yang menghubungkan kehebohan sekarang ini dengan kasus lainnya.

Ada pula kawan yang melihat ini murni perseteruan antar lembaga, namun dipicu oleh sikap SBY yang ingin "memberikan pelajaran" kepada KPK karena telah berani memenjarakan besannya, Aulia Pohan. Alasan terakhir ini, mohon maaf, telah membuat saya terbahak-bahak sampai lumayan basah kedua mata saya. Bagi saya, ini luar biasa lucu. Itu pula salah satu alasan saya untuk menuliskan catatan mengenai Smoke Screen ini, dengan resiko saya pun akan jadi bahan tertawaan sejumlah orang seperti yang telah saya katakan barusan. Namun saya lebih memilih ditertawakan karena teori "konspirasi" ini, ketimbang ditertawakan karena alasan dendam SBY terhadap perlakuan KPK kepada sang besan tadi.

Rasanya lumayan tak masuk akal jika langkah "balas dendam" SBY pada KPK ini diwujudkan dengan cara-cara yang luar biasa berisiko seperti ini. Kita tentu bisa menakar risiko yang kini sudah terjadi: citra kepolisian berantakan, kepercayaan masyarakat kepada SBY pun jadi tergerus karena kehebohan ini sudah menunjukkan begitu banyak sisi dari diri seorang SBY. Belum lagi risiko lain yang bukan mustahil tengah menghadang di depan: tekanan masyarakat yang kian kuat kepada pemerintah, yang bukan mustahil pula bisa berujung pada kekisruhan politik dalam skala yang lebih besar.

Kalau memang ada unsur urusan besan ini, maka tentu SBY tak perlu repot-repot mempertahankan Susno Duadji sejak awal sekali ketika nama sang jendral ini mencuat dalam perjalanan kasus kisruh KPK ini. Banyak suara yang meminta agar Susno dipecat, termasuk yang berasal dari Adnan Buyung Nasution, pada tanggal 25 September lalu (lihat Kompas.com, Jumat, 25 September 2009, 18:40 WIB: Adnan Buyung: Pecat Susno Duaji)

Namun itu usul keras ini tak pernah terwujud. Padahal SBY tentu bisa dengan mudah turun tangan (dia sah melakukan ini secara hukum). Tinggal panggil Kapolri, minta penjelasan soal Susno (termasuk data rekaman KPK yang menyebut-nyebut nama Susno terkait dengan kasus Century, jauh sebelum heboh babak mutakhir ini muncul ke permukaan). Kapolri tinggal memeriksa Susno. Namun langkah-langkah ini tak dilakukan. Mengapa?.

Ini masih diikuti dengan berbagai langkah yang terkesan sebagai pembiaran lainnya: berubah-ubahnya alasan dijadikannya Bibit dan Chandra sebagai tersangka, ditahannya mereka, sampai sikap-sikap jumawa jajaran kepolisian yang dipertontonkan ke hadapan khalayak (lihatlah pilihan kata, nada suara/intonasi, bahasa tubuh, dan raut wajah Wakilnya Susno, Dikdik Mansyur waktu menyampaikan pernyataan penangkapan itu kepada pers), lalu keangkuhan mereka walaupun reaksi penolakan mulai bermunculan di hari Jumat pekan lalu (lihat pernyataan yang bilang bahwa mereka tak takut menghadapi dukungan pada kedua tahanan itu).

Sekali lagi, seluruh serpihan informasi yang masih terserak-serak ini semestinya menjadi pendorong semangat para wartawan untuk menyusunnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Bukan kemudian seperti membutakan mata, menulikan telinga dan membekukan hati. Atau seperti menyerah, karena merasa tak sanggup mengumpulkan semua serpihan itu secara utuh, mungkin lantaran selama ini terlalu sering dimanjakan dengan menerima bahan/informasi yang nyaris lengkap sehingga tak dibutuhkan lagi upaya apapun, kecuali keterampilan menulis dan kehati-hatian menutup kemungkinan munculnya celah-hukum yang bisa membuat media digugat.

Beberapa media kelihatannya telah menyentuh-nyentuh lapisan di balik tabir asap tadi. Lihat misalnya Koran Tempo edisi hari Kamis pekan lalu (29 Oktober 2009), dengan laporan utamanya berjudul besar: Kalap. Info-grafis kronologis kasus penahanan Chandra dan Bibit itu diberi judul Persekongkolan, dengan pengantar singkat berbunyi begini: "Banyak kalangan menuding bahwa kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah merupakan persekongkolan yang dibiarkan penguasa."

Sayang seribu sayang, pernyataan di atas itu masih dibiarkan "menggantung" oleh Koran Tempo. Alangkah eloknya jika Koran Tempo mengejarnya lebih jauh agar ada data dan fakta mengenai apa konkretnya penjabaran dari "persekongkolan yang dibiarkan penguasa" itu. Di sinilah sebetulnya dibutuhkan kemauan dan keterampilan dalam membangun kerangka hipotesis (seperti yang diajarkan dalam teori-teori jurnalisme investigatif dan telah dipraktekkan oleh banyak wartawan, termasuk duet Woodward dan Bernstein). Hipotesis tersebut, bisa diisi misalnya dengan dugaan- dugaan berikut ini:

1. Kemungkinkan KPK sebetulnya sudah akan mencokok beberapa tokoh kunci di balik keputusan penalangan Bank Century, termasuk Boediono dalam perannya sebagai Gubernur BI. Sebab boleh jadi KPK menilai penyelidikan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan tidaklah kuat dan lebih memusatkan perhatian pada periode/persoalan merger Century. Padahal persoalan utama sesungguhnya ada pada proses di balik keputusan penalangan itu, karena di duga ada aliran dana yang tidak beres yang disebut-sebut oleh beberapa kalangan (pengamat, DPR, seperti yang sudah disebutkan terdahulu) ke tokoh atau partai politik tertentu.

2. Jika kemungkinan di atas benar, mungkinkah kemudian rencana KPK ini sudah terendus oleh lingkaran kekuasaan, sehingga boleh jadi pada titik itulah di sinyalir rencana pengerdilan KPK pun disusun dan disiapkan.

3. Mungkinkah bahwa kriminalisasi KPK digeber dengan melibatkan para operator yang kini sudah mencuat ke permukaan, setidaknya berlandaskan pada rekaman pembicaraan yang dimiliki KPK itu?. Penggeberan ini diduga mematok tenggat-waktu yang tegas, yakni harus sebelum 20 Oktober (hari pelantikan Presiden). Sebab, jika dugaan bahwa KPK akan mencokok
Boediono itu benar-benar terlaksana, dan jika pelaksanaannya sebelum hari pelantikan (dan pihak yang diciduk langsung ditetapkan sebagai tersangka), bisa kita bayangkan bagaimana kekacauan politik yang terjadi.

4. Tiba-tiba muncul hasil transkrip pembicaraan telepon yang membawa gempa dahsyat itu, karena diduga melibatkan nama-nama yang sudah saya sebut di atas. Yang paling menyentak tentu saja penyebutan kata "RI-1" dan "SBY" di beberapa bagian dari rekaman pembicaraan itu. Tentu saja penyebutan yang sangat jelas atas jabatan Presiden tersebut masih perlu ditelusuri lebih jauh kebenarannya. Namun bisa diduga bahwa agak sulit bagi seseorang melibat-libatkan nama sang pemegang jabatan tertinggi tersebut jika tidak ada kebenarannya.

Jika sang penyebut asal njeplak, risikonya tentu sangat berat. Bantahan memang segera datang dari para jubir. "Nama Presiden telah dicatut." Ini jelas sangkalan yang terlalu dangkal. Bagi saya, para jubir ini harus membuktikan bahwa benar proses pencatutan itu telah terjadi, dan salah satu buktinya adalah "Para Pencatutnya Haruslah Dicokok dan Ditindak Tegas". Namun ini tidak pernah terjadi, baik pada kasus "pencatutan" paling gres ini, maupun pada kasus-kasus yang mirip sebelumnya.

5. Dalam kondisi seperti inilah, mungkinkah, boleh jadi atau patut diduga para operator ini merancang langkah yang dramatis, yakni tindakan lanjutan terhadap Bibit dan Chandra berupa penahanan itu?.

*****

Sekali lagi, apa yang saya sampaikan di atas barusan hanyalah hipotesis, dugaan, kecurigaan, bukan tuduhan karena di masih jauh dari kebenaran, masih memerlukan upaya dan kerja keras wartawan. Namun bangunan hipotesis seperti ini harus disiapkan, karena dengan itulah wartawan memiliki kerangka yang akan jadi penopang dan pemandu arah penelusuran informasi yng harus mereka lakukan. Tentu saja memiliki sebuah hipotesis jauh lebih baik ketimbang meraba dalam gelap tanpa arah. Belum tentu hipotesis ini benar. Dan jika itu yang terjadi, maka wartawan harus dengan lapang dada dan berbesar hati meruntuhkan bangunan hipotesis itu. Namun bukannya menyerah sejak dari garis start, sehingga menutup semua peluang untuk memenangkan perlombaan.

Sudah ada pernyataan publik yang disampaikan oleh pihak yang kelihatannya gerah menjadi sasaran tudingan mengenai kasus Century ini. Misalnya saja pernyataan dari Ketua Fraksi Demokrat di DPR (saat itu): "Saya jamin tidak ada dana yang mengalir ke Demokrat dan SBY," kata sang Ketua Fraksi, Syarif Hasan, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 16 September 2009 (seperti dikutip oleh Vivanews, Rabu, 16 September 2009, pukul 11.23 WIB; Demokrat Jamin Tak Ada Dana Masuk ke SBY)

Di tvOne tadi subuh juga saya melihat di teks berjalan, Kapolri menyatakan hal yang serupa, yakni kisruh KPK saat ini tidak ada hubungannya dengan Bank Century.

Boleh saja ada pernyataan-pernyataan semacam ini. Namun tentu saja media tak boleh berhenti dengan sekadar menerima pernyataan tersebut. Tugas media bukanlah menjustifikasi data, informasi ataupun pernyataan pejabat publik. Tugas media adalah memverifikasinya, dengan langkah paling awal adalah meragukannya 100 persen, lalu mengumpulkan informasi tandingan yang berbeda dari pernyataan atau informasi atau data dari pejabat publik tersebut. Namun untuk itu dibutuhkan setidaknya dua syarat: bangunan/kerangka hipotesis, dan kewaspadaan agar tidak tersesatkan oleh sekadar Smoke Screen ataupun Tip of an Iceberg.

Oh iya, masih ada syarat tambahan, yang selalu saya sebut sebagai 3N: nalar, naluri, nurani.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Presiden SBY telah menempuh sejumlah langkah untuk memadamkan kebakaran yang sudah telanjur berkobar ini. Bagi sebagian kalangan, langkah ini bisa dinilai sebagai too little too late, karena api sudah kadung berkobar besar dan telah membawa kehancuran (setidaknya pada citra kepolisian yang begitu tercoreng, sedangkan citra KPK kini kian berkibar dan harum. Inilah yang dikenal dengan istilah "Unintended Consequences", apa yang diniatkan melenceng jauh dari apa yang dihasilkan. Niatnya untuk menghancurkan KPK, namun justru tindakan itu berubah menjadi bumerang yang menghajar balik wajah kepolisian sendiri, bahkan wajah lembaga Kepresidenan) .

Untuk sedikit mengobati kesan "too little too late" maka mau tidak mau, suka tidak suka, Presiden SBY harus bergerak lebih jauh yaitu dengan memberikan mandat dan wewenang penuh kepada KPK (bukan kepada TPF) untuk masuk menggeledah habis kasus Century ini. Pada titik ini saya tidak sepakat dengan pendapat Eep bahwa mandat itu harus diberikan kepada TPF.

Jangan sampai TPF diberi wewenang semacam ini, karena berbagai hal. Pertama, itu memang bukan wilayah keahliannya; dan karenanya TPF tak memiliki kompetensi teknis untuk melakukan pengusutan kasus Century; dan ketiga, bukan tak mungkin alias boleh saja kita menduga-duga bahwa TPF adalah bagian dari skenario untuk menjebak sebagian besar rakyat, sehingga data-data penting mengenai Century yang pastilah sebagian besar sudah ada di tangan KPK, bisa terkontaminasi.

Arya Gunawan
*****

KPK, Presiden dan Bank Century

Mengkritik kerja KPK, Presiden Yudhoyono membuat beberapa pernyataan yang tidak konsisten dan tidak logis.

Presiden antara lain menyatakan keberatan KPK menahan beberapa kepala daerah atas tuduhan korupsi. “Kenapa harus ditahan? Kenapa tidak digunakan asas praduga tidak bersalah?”, katanya.

Menurut Presiden, sebelum ada keputusan hukum yang tetap, pejabat yang diduga korupsi, semestinya tetap diperbolehkan bekerja, tanpa perlu mendekam di balik jeruji.

Jika prinsip hukum itu bisa diterima, kenapa presiden tidak memiliki prinsip yang sama dalam kasus penahanan pejabat KPK Bibit dan Chandra? Kenapa tidak dibiarkan mereka bekerja mengingat belum ada keputusan hukum yang tetap buat mereka?

Dalam praktek hukum di masa lalu dan bahkan masih kita lihat sampai sekarang, prinsip yang dikatakan presiden hanya diterapkan oleh polisi untuk para koruptor, tapi tidak untuk penjahat kecil-kecilan. Tersangka tindak korupsi bisa melenggang sementara maling ayam, misalnya, biasanya langsung ditahan, meski sama-sama belum ada keputusan hukum yang tetap.

Dengan cara lama itu, banyak koruptor kasus BLBI tidak ditahan dan akhirnya melarikan diri ke luar negeri. Bukan cerita baru.

Itulah salah satu alasan terpenting kenapa KPK dibentuk. Sesuai dengan nama dan alasan pembentukannya, KPK memang harus lebih keras dari polisi atau kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.

KPK merupakan buah dari reformasi politik 1998, yang mulai diperkenalkan konsepnya sejak masa BJ Habibie. Lembaga ini dibentuk karena penyakit korupsi dipandang sudah demikian akut dan kronis, tanpa polisi dan kejaksaan mampu mengatasinya. KPK merupakan lembaga independen, tidak di bawah kendali presiden.

Undang-undang memang mengakui KPK sebagai “superbody”, lembaga yang cenderung superior dan dengan kewenangan serta independensi lebih dibanding polisi atau kejaksaan.

Presiden tidak bisa mengintervensi kerja KPK, sebaliknya bisa mengintervensi polisi dan kejaksaan. Kapolri dan Jaksa Agung adalah pejabat setingkat menteri yang diangkat berdasar hak prerogatif presiden.

Patut dihargai Presiden Yudhoyono tidak campur tangan ketika KPK menahan Aulia Pohan, besan presiden, dalam skandal korupsi Bank Indonesia. Tapi, presiden memang tidak bisa dan tidak boleh melakukan itu kecuali dia mau disebut melanggar undang-undang.
Dan kini, jika presiden mempertanyakan posisi “superbody” KPK, seperti dilakukannya kemarin, sesungguhnya dia sendiri tidak paham undang-undang.

Meski memiliki wewenang besar, para pejabat KPK tentu saja tidak bisa dibenarkan kebal hukum. Pimpinan KPK bisa dan boleh ditangkap, dipidanakan atau dipenjara jika melakukan kejahatan.

Sebagai bagian dari prinsip perimbangan kekuasaan, polisi atau kejaksaan bisa menyidik dan menangkap pejabat KPK, jika mereka diduga melakukan kejahatan seperti mencuri, memperkosa atau membunuh (dalam kasus Antasari Azhar). Polisi dan kejaksaan juga bisa menahan mereka dengan tuduhan kejahatan suap, pemerasan serta korupsi.

Tapi, dalam kasus Chandra dan Bibit?

Alasan keberatan banyak orang terhadap penangkapan/penahanan Bibit dan Chandra bukanlah karena polisi sama sekali tak boleh mempidanakan mereka. Tapi, pada tuduhan yang disangkakan. Polisi dalam hal ini menyalahkan pejabat KPK itu untuk “kejahatan” menyadap dan mencekal Anggoro Widjojo.

Anggoro Widjojo, Direktur Utama PT Masaro Radiokom, ditetapkan sebagai tersangka dan buronan oleh KPK atas dugaan suap kepada sejumlah anggota DPR dalam sebuah proyek Departemen Kehutanan.

Polisi tidak pernah menyidik Anggoro, yang kini berada di Singapura. Tapi, seperti sudah luas diberitakan dan diakui oleh kepolisian: Susno Duadji, Kepala Reserse Kriminal Mabes Polri, pernah menemuinya di negeri tetangga itu.

Langkah polisi mempersoalkan Bibit dan Chandra muncul setelah pertemuan itu. Dan ada unsur konflik kepentingan di sini.

Susno Duadji adalah orang yang disebut-sebut terlibat dalam Skandal Bank Century dan KPK sedang mengincarnya. Skandal Bank Century bukan kasus kecil. Banyak nasabah dirugikan dan bahkan uang publik sebanyak Rp 6,7 trilyun dipakai untuk menambal modal bank itu, yang pengucurannya menimbulkan kontroversi politik melibatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono (kini wakil presiden).

Banyak pihak, termasuk Adnan Buyung Nasution, telah mendesak agar Kapolri menon-aktifkan Susno demi penyidikan. Tapi, Kapolri dan juga Presiden Yudhoyono nampak tidak peduli. Keduanya bahkan memberikan dukungan publik pada langkah Susno Duadji memperkarakan Chanda dan Bibit.

Metode kerja KPK memang bisa bermuatan penyalahgunaan wewenang sehingga subyek penyadapan dan pencekalan menderita kerugian tidak semestinya. Tapi ada jalan untuk menguji kemungkinan penyalahgunaan ini. Keberatan atau protes terhadap indikasi penyalahgunaan wewenang oleh KPK bisa dilakukan oleh korban lewat Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam kasus ini, Anggoro-lah, dan bukan polisi, yang layak menggugat KPK.

Nampak ganjil di sini, polisi mempersoalkan metode kerja KPK, suatu yang bukan haknya. Dan ironisnya, polisi justru menyediakan diri sebagai wakil (pelindung/pembela) tersangka koruptor.

Sulit untuk menepis spekulasi bahwa penahanan Bibit dan Chandra, yang memperlihatkan terlalu banyak inkonsistensi hukum itu, berkaitan pula dengan Skandal Bank Century.

Inkonsistensi polisi adalah inkonsistensi presiden. Dan kita layak bertanya: tidakkah dukungan/perlindungan Kapolri kepada Susno, tersangka Skandal Bank Century, mendapat restu presiden?.

Farid Gaban
****

Begini Kronologi Sampai Pimpinan KPK Ditahan

Jum'at, 30 Oktober 2009 | 09:43 WIB

Tempo Interaktif, Jakarta - Polisi akhirnya menahan dua petinggi KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Polisi menahan dengan alasan keduanya mempersulit penyidikan.

Banyak kalangan menuding bahwa kasus keduanya merupakan hasil persekongkolan tersangka koruptor dengan penegak hukum, serta pembiaran oleh penguasa.

Menurut polisi, "Keduanya ditahan karena mempersulit penyidikan", kata Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal, Dikdik Mulyana Arif Mansyur.

23 Juni 2009
KPK menyatakan Direktur PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan alat komunikasi terpadu Departemen Kehutanan pada 2007.

30 Juni 2009
Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Susno Duadji, yang sedang menangani kasus Bank Century, menyatakan teleponnya di sadap. Belakangan, KPK mengatakan memang sedang menyelidiki dugaan suap kepada petinggi kepolisian berinisial SD dalam kaitan dengan kasus Bank Century.

10 Juni 2009
Susno menemui Anggoro, yang jadi buron KPK, di Singapura.

4 Agustus 2009
Antasari Azhar, Ketua KPK (nonaktif) yang ditahan polisi untuk kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, membuat testimoni yang menyatakan Anggoro mengaku menyuap dua petinggi KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, Rp 6 miliar melalui Ary Muladi.

15 September 2009
Polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang. Belakangan, kuasa hukum Bibit dan Chandra mengatakan tuduhan untuk kliennya berubah-ubah, dari penyuapan hingga pemerasan.

30 September 2009
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengatakan, tuduhan untuk Bibit dan Chandra yang berubah-ubah memberi kesan bahwa polisi baru mencari-cari kesalahan keduanya.

10 Oktober 2009
Kejaksaan menilai berkas Chandra dan Bibit belum lengkap dan mengembalikannya kepada polisi.

12 Oktober 2009
Ary mencabut pengakuannya kepada polisi bahwa ia telah menyuap Bibit dan Chandra.

24 Oktober 2009
Beredar transkrip penyadapan telepon Anggoro dan adiknya, Anggodo Widjojo, dengan koleganya. Transkrip itu menyebut nama Presiden, Susno, serta pejabat Kejaksaan (A.H Ritonga), dan di antaranya membicarakan upaya kriminalisasi pimpinan KPK dan pembubaran lembaga ini.

29 Oktober 2009
  1. Mahkamah Konstitusi memerintahkan KPK menyerahkan rekaman dugaan rekayasa kasus pidana Bibit dan Chandra yang transkripnya sudh beredar.
  2. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menyatakan tidak ada aliran dana dari Ary ke Bibit dan Chandra.
  3. Presiden Yudhoyono menyatakan pemberantasan korupsi harus difokuskan pada pencegahan, bukan dengan menjebak.
  4. Polisi menahan Chandra dan Bibit.

*****

Inilah Bocoran Hasil Audit BPK Atas Century

Banyak kelemahan dan kejanggalan serius dibalik penyelamatan atau bail out Bank Century.

Rabu, 30 September 2009, 16:50 WIB

Laporan awal audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan atas Bank century mengungkapkan banyak kelemahan dan kejanggalan serius dibalik penyelamatan atau Bail Out Bank Century yang menelan dana hingga Rp 6,7 triliun (tepatnya Rp. 6.762.361.000.000).

Laporan audit yang sempat dibaca Vivanews itu terdiri dari 8 halaman dengan huruf yang kecil-kecil. Halaman awal berupa pengantar dari Ketua BPK Anwar Nasution. Kemudian disusul beberapa bab, yang mencakup Pendahuluan, Gambaran Umum, dan Ringkasan.

Beberapa poin dari isi audit tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengawasan Khusus Bank Century
Menurut temuan BPK, Bank Indonesia seharusnya bertindak tegas terhadap Bank Century, terutama mengenai penerapan ketentuan Penyediaan Pencadangan Aktiva Produktif (PPAP) sesuai dengan ketentuan PBI nomor VI/9/PBI tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PBI/2005. Bank Century seharusnya ditetapkan dalam pengawasan khusus sejak 31 Oktober 2005. Pada kenyataanya baru masuk pengawasan khusus pada 6 November 2008.

2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
Karena menghadapi kesulitan likuiditas, Bank Century mengajukan permohonan FPJB kepada BI pada 30 Oktober 2008 sebesar Rp 1 triliun. Permohonan tersebut diulangi pada 3 November 2008. Pada saat mengajukan permohonan FPJP, posisi CAR menurut analisis BI adalah 2,35 persen. Sedangkan, persyaratan untuk memperoleh FPJP sesuai dengan PBI Nomor 10/26/PBI 2008 tentang FPJP adalah bank memiliki CAR minimal 8 persen. Dengan demikian Bank Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.

3. Perubahan Peraturan BI soal FPJP
Pada 14 November 2008, BI mengubah PBI mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula CAR minimal 8 persen menjadi CAR positif. Dengan perubahan ketentuan tersebut, serta menggunakan posisi CAR per 30 September sebesar 2,35 persen, BI menyatakan Bank Century memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP. Padahal, berdasarkan penelitian lebih lanjut menunjukkan posisi CAR Bank Century pada 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53 persen sehingga seharusnya Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP. Selain itu, jaminan FPJP yang diperjanjikan Rp 467,99 miliar ternyata tidak secure. Namun, berdasarkan perubahan PBI pada 14 November, BI menyetujui pemberian FPJP kepada Bank Century.

Jumlah FPJP yang telah disalurkan kepada Bank Century adalah Rp 689,39 miliar yang dicairkan pada 14 November 2008 sebesar Rp 356,8 miliar, dan 17 November 2008 sebesar Rp 145,26 miliar, dan 18 November 2008 sebesar Rp 187,3 miliar.

4. Penetapan BI, Century sebagai Bank Gagal
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20 November pukul 19.44 WIB, BI menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal. Alasannya, CAR per 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53 persen dan bila tidak ditingkatkan menjadi 8 persen, bank dinilai tidak sehat. Hal ini disebabkan sampai saat ini pemegang saham tak dapat melakukan komitmennya untuk menambah modal dan usaha untuk mengundang masuknya investor baru tidak membawa hasil.

Kondisi likuiditas GWM 19 November masih positif Rp 134 miliar (1,85 persen). Namun terdapat kewajiban RTGS dan kliring yang belum diselesaikan oleh Bank Century sebesar Rp 401 miliar sehingga GWM rupiah kurang dari 0 persen. Disamping itu kewajiban yang akan jatuh tempo pada 20 November 2008 sebesar Rp 458 miliar.

Untuk menambah likuiditasnya, BI telah memberikan FPJP sebesar Rp 689 miliar namun mengingat penarikan dana nasabah jauh lebih besar, maka FPJP tersebut tidak mampu memperbaiki likuiditas bank. RDG membahas analisis dampak sistemik dari peneptapan Bank Century sebagai Bank Gagal. Analisis tersebut menggunakan kriteria sesuai dengan Memorandum of understanding on operation between the financial supervision authority central bank and finance ministry of the European union, 1 Juni 2008.

5. Posisi Century di Industri Perbankan
Bank Century tidak termasuk penting dalam industri perbankan. Alasannya, dana pihak ketiga bank mencapai 0,8 persen dari total DPK perbankan. Kredit bank juga sebesar 0,42 persen dari total kredit perbankan. Total aset Century terhadap perbankan juga tidak signifikan, hanya sebesar 0,72 persen. Dari sisi kredit, mayoritas diberikan dalam bentuk modal kerja (76,5 persen) untuk membiayai sektor industri pengolahan 21,79 persen, perdagangan, restoran, hotel, dan jasa keuangan.

Dengan ukuran skala bank yang kecil, fungsi Bank Century bisa digantikan oleh banyak bank lain sejenis di industri perbankan. Namun, Century menghadapi persoalan karena ada transaksi antar bank yang mencapai 24,2 persen dari total aset Bank Century.

6. Penetapan KSSK, Century sebagai Bank Gagal
Setelah melalui berbagai pembahasan antara BI, Departemen Keuangan dan LPS dalam Rapat Konsultasi KSSK tanggal 14, 17, 18, 19 November 2008, dengan memperhatikan surat Gubernur BI Nomor 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, KSSK melakukan rapat KSSK pada 21 November 2008 pukul 04.25 - 06.00 WIB yang diawali dengan rapat Konsultasi KSSK pada 20 November pukul 23.00 WIB sampai dengan 21 November pukul 05.00 WIB. Rapat konsultasi diawali dengan presentasi BI yang menguraikan Bank Century sebagai Bank Gagal dan analisis dampak sistemik. Berdasarkan aturan rapat tersebut diketahui bahwa selain BI, peserta rapat lainnya pada umumnya mempertanyakan dan tidak setuju dengan analisis BI yang menyatakan Bank Century ditengarai berdampak sistemik.

Menanggapi pertanyaan dari peserta rapat lainnya, BI menyatakan sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan resiko sistemik atau tidak karena merupakan dampak berantai yang sulit di ukur dari awal secara pasti. Yang dapat di ukur hanyalah perkiraan atau biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan. Mengingat situasi yang tidak menentu maka lebih baik mengambil pendekatan kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan namun dengan meminimalisir cost, keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jumat sore. Seperti saran LPS, Bank Century juga tidak mempunyai cukup dana untuk Prefund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu.

Setelah rapat konsultasi, dilanjutkan dengan rapat KSSK pada 21 November 2008 pukul 04.25- 06.00. Rapat dihadiri oleh Menkeu Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono dan Sekretaris KSSK Raden Pardede yang memutuskan Bank Century sebagai Bank gagal, yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century kepada LPS. Keputusan KSSK tersebut ditindaklanjuti dengan rapat Koordinasi 21 November pukul 05.30 sampai selesai. Kemudian, penanganan Bank Century dilakukan oleh LPS sesuai UU Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS.

7. Suntikan Modal Century
Surat BI nomor 10/232/GB/rahasia tanggal 20 November 2008 kepada Menkeu Rp 632 miliar. Namun, dalam surat tersebut, BI tidak memberikan informasi mengenai beberapa risiko penurunan CAR, seperti informasi penurunan kualitas aset yang seharusnya diketahui oleh BI karena dugaan rekayasa akuntansi Bank Century dan penyimpangan oleh pemiliknya.

8. Pelanggaran-Pelanggaran Century
BPK menemukan adanya indikasi praktik operasi perbankan di Bank Century yang tidak sehat dan merugikan bank dan berpotensi merugikan negara.
  • Pengelapan hasil surat berharga senilai US$ 7 juta.
  • Hasil penjualan surat-surat berharga Rp 30,28 miliar dijadikan jaminan pengambilan kredit oleh pihak terkait.
  • Pemberian kredit LC fiktif Rp 397,97 miliar pada pihak terkait dan pemberian LC fiktif sebesar US$ 75,5 juta.
  • Surat-surat berharga Century tidak diterima oleh Bank Century karena masih dikuasai oleh salah satu pemegang saham.
  • Manajemen Bank Century diduga melakukan pengeluaran biaya-biaya fiktif senilai Rp 209,8 miliar dan US$ 4,72 juta sejak 2004-2008. (vivanews.com)
Boediono

*****

Disinyalir ke Partai Politik,
Dana Century Diduga Diselewengkan


4 September 2009

Dana penyelamatan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun (tepatnya Rp. 6.762.361.000.000) diduga untuk menyelamatkan para deposan besar, baik pengusaha maupun sejumlah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Deposan-deposan besar tersebut yang paling diuntungkan atas keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyelamatkan Bank Century meskipun harus menguras uang rakyat. “Penyelamatan KSSK dengan menggunakan argumen ancaman risiko sistemik terlalu mengada-ada. Bank Indonesia (BI) dan Depkeu harusnya menjelaskan secara transparan argumentasi tersebut,” kata pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bambang Soesatyo di Jakarta, Kamis (3/9). Penyelamatan Bank Century yang merupakan bank kecil dengan alasan timbul risiko sistemik, sulit diterima masyarakat. Terlebih lagi, bank tersebut memang jauh-jauh hari bermasalah karena selama ini mengandalkan transaksi valas atau spekulasi mata uang.

Ia mengatakan alasan resiko sistemik bisa diterima jika itu menyangkut Bank Mandiri, BNI, atau BRI yang memiliki ukuran besar. “Pemerintah dan BI harus menjelaskan secara jernih dan tidak hanya sekadar meminta penghentian polemik penyelewengan yang terjadi di Bank Century,” paparnya. Jika skandal yang menguras uang rakyat dalam skala besar ini dibiarkan maka hal ini akan berulang di masa depan tanpa ada pihak yang bertanggung jawab.

Bambang mempertanyakan alokasi dana kucuran itu yang ternyata jatuh pada para deposan besar yang selama ini menerima bunga deposito yang melebihi bunga penjaminan LPS. “Sudah begitu, dana-dananya diduga untuk spekulasi rupiah,” ujarnya. Salah satu deposan bahkan ada yang menerima Rp 2 triliun pascapenyuntikan dana karena deposito yang jatuh tempo.

Menurutnya, adalah masuk akal jika masyarakat menilai penyelamatan Century untuk menolong para deposan besar tersebut. Deposan-deposan besar inilah yang diduga mengalirkan dana-dana ke partai politik tertentu untuk pendanaan saat pemilu beberapa waktu lalu.

Bambang mengharapkan agar BPK diberi kesempatan melakukan audit investigasi secara objektif tanpa ada operasi-operasi rahasia untuk menghalang-halanginya. “Jika ingin menciptakan tata kelola pemerintahan bersih, tidak cukup hanya sebatas pidato dan janji-janji di depan sorotan kamera,” paparnya.

Mantan Menteri Keuangan Kwik Kian Gie menilai, mantan Gubernur BI Boediono harus mempertanggungjawabkan pernyataannya kepada Wakil Presiden (Wapres) yang mengatakan bahwa tidak ada dasar hukum menangkap pemilik Century Robert Tantular. Pasalnya, ketika Wapres meminta Mabes Polri menangkap Robert Tantular, Mabes Polri memiliki bukti-bukti hukum kuat sehingga akhirnya menangkap dan menyerahkan yang bersangkutan ke Kejaksaan untuk dibawa ke Pengadilan. “Boediono selaku Gubernur BI harusnya menjelaskan kepada masyarakat, bukan menghindar dari media massa,” tegasnya.

Ia menilai, selama Boediono tidak bisa menjelaskan pernyataan kepada masyarakat, dia dapat digolongkan sebagai pejabat yang tidak bertanggung jawab. “Jika terus-menerus tutup mulut seperti ini hanya makin menambah kecurigaan masyarakat bahwa ia ingin cuci tangan,” tandasnya.

Cukup Mudah

Menurut Kwik, cukup mudah untuk mengetahui kebijakan penyelamatan Bank Century terutama melindungi dan membela deposan besar atau tidak. “Buka saja transaksi harian dari waktu ke waktu sebelum penyelamatan dan setelah penyuntikan. Dari situ akan mudah terlihat aliran dana-dana terjadi,” tandasnya. Hal ini mudah dilakukan untuk membuktikan apakah para deposan besar ini sama sekali tidak terkait dengan partai politik tertentu atau kepentingan pemilu.

Anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait di Jakarta, Kamis (3/9), mengatakan, semua pihak harus menunggu hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kasus Bank Century untuk menentukan langkah selanjutnya. Hasil audit BPK diharapkan akan menunjukkan apakah dana dari Bank Century mengalir untuk kepentingan politik pihak tertentu, atau hanya mismanajemen. “Kita tunggu hasil audit BPK, kemudian baru menentukan langkah apa yang bisa dilakukan,” tegas Maruarar Sirait. Menurutnya, permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada BPK untuk mengaudit bank tersebut beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa KPK sudah memiliki data ketidakberesan yang cukup atas bank itu.

“Kita harus menghormati KPK yang sejak awal sudah mencium ketidakberesan dan kita juga harus mencermati hasil kerja BPK nanti. Kita berharap hasil audit itu bisa segera kita dapatkan,” tambahnya.

Jika dugaan bahwa dana Bank Century mengalir untuk kepentingan politik selama pemilu, Maruarar mengkhawatirkan hasil pemilu bisa merugikan semua pihak. Artinya, laporan dana pemilu partai politik ataupun pasangan calon presiden-wakil presiden ada yang tidak jujur.

“Tapi tidak perlu berandai-andai. Kita tunggu saja, termasuk apakah DPR perlu membentuk pansus atau panitia angket,” katanya.

Periksa KSSK

Sementara itu, Wakil Ketua KPK M. Jasin mengatakan, pihaknya masih menungu hasil audit BPK. Dari hasil audit itulah, KPK akan menelusuri lebih lanjut dugaan tindak pidana korupsi dan penyelewengan dana yang menyebabkan kerugian negara. “Jika ada penyimpangan-penyimpangan yang di identifikasi BPK, nanti baru kita tindak lanjuti,” ujarnya.

Dia mengatakan, tidak tertutup kemungkinan pejabat KSSK, Bank Indonesia (BI), Depkeu, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan diproses secara hukum karena dugaan korupsi. Hal itu menurut Jasin, masih bergantung kepada hasil audit BPK, jika ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat pemerintah. “Kemungkinan itu ada, tapi kita tidak ingin berspekulasi, tergantung nanti audit BPK,” tegasnya.

Sekjen Transparency Internasional Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan, pemerintah dan DPR harus segera membuat undang-undang (UU) yang mengatur soal korupsi di tubuh swasta. Sementara itu, KPK berencana memeriksa sejumlah pejabat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terkait kasus Century.

Dengan adanya UU tersebut, landasan hukum kejahatan korupsi swasta menjadi jelas sehingga tidak ada pejabat pemerintah yang berani mengucurkan dana atas nama kepentingan ekonomi. “Tanpa ada landasan hukum itu, pejabat berani mengucurkan dana untuk menalangi perusahaan yang bermasalah. Padahal kita tidak tahu apakah permasalahan itu disebabkan karena alasan alamiah, misalnya, krisis global atau karena kejahatan pemiliknya,” ujar Teten.

Terkait kasus mantan pemilik Bank Century, Robert Tantular, Polri menegaskan masih membidik yang bersangkutan dengan beberapa kasus. Robert Tantular yang dituntut delapan tahun dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, kini akan dijerat dengan beberapa perundangan. Ini dibenarkan Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Brigjen Edmod Ilyas, Kamis (3/9), di Mabes Polri.

“Robert dikenakan pasal berlapis, dengan satu persidangan sudah putus tiga tahun (vonis untuk mantan Dirut Bank Century Hermanus Hasan Muslim-red). Satu persidangan lagi masih berjalan.

Presiden

Menyusul maraknya pemberitaan mengenai kasus Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta BI dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memberikan penjelasan gamblang kepada masyarakat supaya tidak ada persepsi keliru. Presiden Yudhoyono sendiri sudah diberitahukan Menkeu mengenai kasus ini pada Senin (31/8).

“Presiden meminta Menkeu dan BI menjelaskan, karena soal-soal seperti itu bukan domain Presiden, kan. Oleh karena itu, KSSK dan BI-lah yang mengontrol dan mengawasi perbankan. Jadi Presiden tidak ingin campur,” ungkap Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Hatta Rajasa di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (2/9).

Mustahil BI Tak Tahu

Hampir mustahil Bank Indonesia tidak mengetahui dugaan kejahatan para pengurus Bank Century. Bank Indonesia harusnya melaporkan kejahatan perbankan itu ke polisi untuk mendapatkan respon dan tindak lanjut.

Penilaian itu disampaikan pengamat perbankan Bismanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu (2/9). “Saya setuju pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa kejahatan perbankan seperti di Bank Century mutlak diperlukan tindakan hukum,” tegasnya kemarin.

Penyelesaian hukum, katanya, bukan hanya bertujuan menghukum kejahatan pelaku, tetapi juga supaya orang lain tidak melakukan tindak kejahatan di masa datang. Bismanto mengaku miris melihat perbankan Indonesia yang sering dilanda skandal-skandal mega rupiah. Mulai dari Bank Umum Majapahit, Bank Duta, Bapindo dan sebagainya.

Menurutnya, skandal perbankan berawal dari ketidaksengajaan. Namun, hal itu sebenarnya hanya “bungkus” keserakahan bankir menyepelekan peraturan. “Sesungguhnya lebih dari cukup peraturan maupun perundang-undangan yang telah ada untuk mengatur dan mengawasi sepak terjang para bankir serakah tersebut,” terang Bismanto. “Tapi lemahnya mental oknum pembuat kebijakan seringkali melahirkan perbankan jahat dan serakah tadi,” lanjutnya.

KPK Diminta Turun Tangan

Sementara itu, anggota DPR Dradjad Wibowo mengatakan KPK bisa turun menyelidiki kasus Bank Century. “Memang kalau KPK sudah turun, arahnya memang korupsi, jadi ya harus dilihat dulu bukti-bukti awal. Kalau sudah ada saya kira KPK bisa turun,” jelasnya. Dia melihat, kasus Bank Century sebenarnya sudah memasuki babak baru. Dalam arti bukan lagi masalah perbankan semata tetapi sudah masalah hukum pidana.

Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meminta laporan soal Bail Out Bank Century kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Bank Indonesia (BI). Demikian hal itu diungkapkan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di Istana Negara, Jakarta, Rabu (2/9). Tujuannya agar tidak terjadi persepsi yang keliru. (hariansib.com)

*****

Bail-Out Century Demi Pilpres?

14/09/2009 - 12:51

Skandal Bank Century, seperti halnya skandal BLBI, mengingatkan para analis ekonomi-politik dan publik tentang fenomena muslihat kaum kapitalis yang secara menyeramkan menggasak sumber daya ekonomi rakyat tanpa peduli ribuan orang jatuh melarat karenanya.
Meminjam perspektif jurnalis Naomi Klein, jenis kapitalisme neoliberal ini disebut sebagai ‘kapitalisme bencana’. Naomi Klein dalam bukunya The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism, menyebut kapitalisme bencana itu melanda negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Dalam kasus bank Century yang membuat publik gusar dan geram ini, para analis menyatakan perlu tranparansi pengambilan keputusan soal bail out ke Century sebesar Rp 6,7 triliun itu. Karena bail out adalah masalah besar mengingat ini soal uang rakyat, dus soal kerugian uang negara.

Kasus Century itu termasuk jenis kapitalisme bencana. Kalangan analis mendesak Presiden SBY harus buka-bukaan dalam pemberian dana talangan (bail out) ke Bank Century. Hal tersebut penting karena ada dugaan kuat, penyelamatan Bank Century untuk menyelamatkan nasabah besar yang menyumbang parpol. “Presiden jangan sampai terkesan melakukan pembiaran, karena bisa bercitra Crime by Omission,” kata Burhanudin Muhtadi MA, peneliti Lembaga Survey Indonesia.

Sejauh ini, beberapa fakta krusial di balik bail out Century menunjukkan adanya kejanggalan upaya kekuatan swasta menggunakan pejabat negara untuk mencaplok uang rakyat melalui kebijakan bail out.

Pertama, Bank Century nasabahnya hanya 65 ribu orang, 0,1 persen dari total seluruh perbankan, dan yang total aset Century Rp 15 triliun, dana masyarakat yang terkumpul Rp 10 triliun, dan hanya punya 7 cabang. Ini mencurigakan, kenapa di bail out Rp 6,7 triliun.

Yang paling mungkin adalah ada usaha penyelamatan nasabah kakap dan adanya motif kekuasaan (politik) dari Boediono dan Sri Mulyani di baliknya.

Darmawan Sinayangsah, peneliti ekonomi politik lulusan Fisip-UI, menduga Boediono dan Sri Mulyani memiliki motif politik untuk melakukan Bail Out. Meski tidak menerima sepeser pun duit dari Century, namun motifnya mengarah jelas ke kekuasaan.

“Dengan melakukan Bail Out Century, Boediono dan Sri Mulyani diduga bermotif menyelamatkan dana deposan kakap yang menyumbang dana kampanye pilpres,” kata Deputi Direktur Freedom Foundation itu.

“Ada dugaan, aliran dana dari deposan Century ini ke salah satu konsultan politik. Ini yang saya dengar sedang diselidiki dalam audit BPK. Para politisi dan analis amat menunggu hasil audit BPK itu,” tambah Darmawan.

Kedua, motif Boediono dan Sri Mulyani menyelamatkan Century diduga juga politik (kekuasaan) terkait dengan informasi bahwa kisruh soal Century ternyata pernah membuat para pejabat di Bank Indonesia berselisih paham. Gubernur BI saat itu, Boediono yang mengusulkan agar Century di-bail out, sementara Deputi Gubernur BI, Siti Fadjrijah minta agar Century dilikuidasi atau ditutup.

Skenario penyelamatan Bank Century harus dilihat dari pengambilan putusan oleh Bank Indonesia (BI) era kepemimpinan Boediono, yaitu tentang persyaratan bank mendapatkan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD).

Anggota Komisi XI DPR-RI fraksi PPP, Habil Marati menjelaskan pada 18 November 2008, ketika Boediono masih menjabat sebagai Gubernur BI, melakukan perubahan tentang persyaratan bank yang dapat menerima FPD.

Pada 18 Nopember Boediono mengesahkan persyaratan baru FPD pengganti persyaratan sebelumnya. Boediono mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebelumnya, yaitu bank yang boleh menerima fasilitas pembiayaan darurat hanya yang memiliki CAR 8%.

Tetapi, oleh Boediono PBI ini diubah, dengan dikeluarkan PBI No.10/31/PBI/2008 tentang fasilitas pembiayaan darurat, di mana ditetapkan persyaratan CAR 5% bagi perbankan yang ingin mendapatkan FPD.

"Langkah mengubah PBI untuk mendapatkan FPD pada CAR 5% dari sebelumnya 8% menjadi 5% adalah terobosan yang saya anggap sengaja dilakukan, demi memuluskan rencana Bank Century mendapatkan fasilitas penjaminan dana," kata Habil Marati.

Saat itu CAR Century hanya 5%. Artinya, ungkap Habil Marati, kalau sesuai dengan peraturan lama, Century tidak mendapat jaminan dengan sendirinya langsung dilikuidasi. Tetapi dengan diubahnya CAR menjadi 5%, maka Century pun bisa dapat FPD.

Waktu itu CAR Century hanya 5%. Jadi kalau memakai PBI yang lama, maka Century tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan FPD. Karena saat itu Boediono setuju soal pembentukan PBI baru, berarti harus dipertanyakan kepadanya, kenapa persyaratan CAR diturunkan.

Dengan skandal Century ini, Darmawan dan Iman Sugema berharap, Presiden SBY makin bijak, waspada dan hati-hati memilih tim ekuinnya. Boediono jelas bakal sangat hati-hati untuk mengajukan tim ekuin di kabinet sebab posisi tawarnya terkikis drastis akibat skandal Century ini. "Tapi melalui dukungan IMF dan World Bank, bisa saja Boediono bermain bagai air tenang yang menghanyutkan," kata Darmawan. (inilah.com)

Hasan Sastranegara

*****

Dana Bank Century Diduga untuk Kegiatan Politik

Selasa, 01 September 2009 pukul 17:06:00

Jakarta - Pemerintah dan Bank Indonesia diminta untuk menjelaskan masalah Bank Century ini dengan jelas kepada masyarakat. Kucuran dana sebesar Rp 6,7 triliun ke bank itu disinyalir ditunggangi untuk pembiayaan kegiatan politik tertentu.

Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin Indonesia Bambang Soesatyo mengimbau agar pemerintah dan BI memberikan penjelasan yang masuk akal. Terutama, penjelasan mengenai aliran dana Rp 6,7 triliun yang diberikan untuk bank sekecil Bank Century. ''Perlu dijelaskan pula alasan pemerintah dan BI menanggung beban para pemilik dan pengelola bank itu,'' ujarnya di Jakarta, Selasa (1/9).

Menurut Bambang, pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa kebijakan menyantuni bank ini sebagai perampokan tentu berdasarkan alasan. Pernyataan itu, dianggapnya sebagai penegasan dari Wapres terhadap perilaku kriminal para pengelola dan pemilik bank itu. ''Alasan pengucuran dana untuk menghindari guncangan sistemik dirasakan berlebihan mengingat Bank Century berskala kecil,'' katanya.

Terkait kucuran dana sebesar itu, fungsionaris Partai Golkar ini menduga ada dana siluman yang dititipkan untuk membiayai kegiatan politik tertentu. Sumber dana siluman itulah yang dimintanya untuk diperjelas. Dia meminta pula agar PPATK dilibatkan menelusuri aliran dana itu. ''Dugaan ini akan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap bank-bank di dalam negeri,'' ucapnya mengingatkan. (epaper.republika.co.id)

*****

Demokrat Jamin Tak Ada Dana Masuk ke SBY

Rabu, 16 September 2009, 11:23 WIB

Demokrat menjamin tidak ada aliran dana panas dari kasus Bank Century yang masuk. Demokrat juga membantah bila 'dana panas' itu mampir ke rekening kampanye SBY-Boediono.

"Saya jamin tidak ada dana yang mengalir ke Demokrat dan SBY," kata Ketua Fraksi Demokrat, Syarif Hasan, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 16 September 2009.

Menurut Syarif, kasus yang sudah menetapkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka itu, adalah masalah di ranah hukum. Tidak ada pihak yang bisa mengintervensi hukum.

"Jadi pemerintah tidak boleh ikut campur di sini. Serahkan saja ke proses hukum. Jangan melakukan justifikasi," kata dia. Maka itu, Syarif menilai agar biarkan saja kepolisian menjalankan kewenangannya sebagai penyidik.

Langkah apa yang akan dilakukan fraksi Demokrat?. "Kami akan usahakan agar kinerja KPK efektif," ujar dia lagi.

Dini hari tadi, Markas Besar Polri menetapkan tersangka dua petinggi KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penyalahgunaan kewenangan saat mencekal bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo.

Kasus Bank Century saat ini tengah diusut Mabes Polri dan KPK. Kedua lembaga ini pun siap saling membantu dalam mengusut kasus Century.

Pengusutan ini terkait dengan pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada November 2009. LPS pun sudah mengucurkan dana sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century. LPS menyatakan pengucuran ini untuk menyelamatkan Century dari aksi rush oleh nasabah. (vivanews.com)

*****
Kalla Tuding Pemerintah
Lindungi “Perampokan”
Bank Century


Senin, 31 Agustus 2009 | 16:34 WIB

Jakarta - Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengatakan persoalan Bank Century merupakan kasus kriminal. Pemilik bank dianggap merampok bank itu sendiri dan melarikan dana masyarakat ke luar negeri.

"Di samping obligasi-obligasi yang bodong (tak ada nilai) karena tidak diawasi dengan baik dan benar oleh Bank Indonesia," kata Jusuf Kalla di kantor Wakil Presiden, Senin (31/8).

Kalla mengatakan dirinya tidak mengetahui proses Bail Out dan tidak pernah dilapori sebelumnya oleh pejabat berwenang. Dia menyayangkan penjelasan Menteri Keuangan (kepada sejumlah wartawan melalui pesan singkat elektronik), Kalla telah diberi tahu. "Seakan-akan Saya diberi tahu per tanggal 22 November 2008," ujarnya.

Menurut Kalla, Sri Mulyani mengatakan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) memutuskan Bail Out Bank Century pada 21 November. Lalu, Menteri Keuangan melapor ke Kalla pada 22 November. Sehari setelah laporan atau 23 November, dana talangan ke Century dicairkan. "Padahal sebetulnya tidak," katanya.

Kalla menyatakan baru mendapat laporan pada 25 November. Laporan tidak mungkin dilakukan pada 22 November karena saat itu hari Sabtu. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Gubernur (Bank Indonesia), Boediono, melaporkan situasi Bank Century. "Saya langsung mengatakan masalah Century bukan masalah karena krisis tapi itu perampokan, kriminal karena pengendali bank ini merampok dana bank century dengan segala cara termasuk obligasi bodong yang dibawa ke luar negeri," ujarnya.

Dia pun menyarankan Robert Tantular (pemilik Bank Century) ditangkap. Sehingga, persoalan itu bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Kalla meminta Boediono melaporkan kasus itu ke polisi.

"Saya bilang, Pak, penyelesaiannya ya harus ini orang (Robert Tantular) di tangkap dulu karena kriminal dan perampokan. Tapi jawaban BI (Bank Indonesia), ini tidak ada dasar hukumnya," tuturnya.

Ketua Umum Partai Golkar itu mengaku terpaksa langsung menginstruksikan kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menangkap Robert Tantular dan sejumlah direksi yang bertanggung-jawab dalam waktu 2 jam. Dia khawatir Robert Tantular dan direksi-direksi Bank Century melarikan diri bila tak ditangkap dalam waktu 2 jam.

"Harus (ditangkap dalam 2 jam) dan syukur Polri pas 2 jam ambil itu. Karena jam 7 malam dia laporkan itu, jam empat (sore) Saya perintah. Jam tujuh (malam) Pak Kapolri bilang, sudah Pak, tangkap lima orang," katanya.

Dia menegaskan klarifikasi itu untuk mengkoreksi pernyataan Sri Mulyani soal kronologi Bail Out. Menurut dia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berhak untuk mengucurkan dana talangan untuk bank yang dinilai tidak sehat. "Itu hak LPS, terserah. Tapi Saya tidak tahu sebelumnya," ujarnya.

Saat Sri Mulyani dan Boediono melapor, Kalla menyayangkan sikap pemerintah memberi toleransi untuk Bank Century. "Itu kriminal, perampokan, kenapa kita tolerir? Itulah kelemahan pengawasan Bank Indonesia di situ. Jadi benar Menteri Keuangan bahwa ini kelemahan Bank Indonesia sebenarnya yang terpaksa jadi tanggung-jawab semuanya," ujarnya.

Dia mengatakan sudah berupaya menghubungi Sri Mulyani untuk mengklarifikasi kronologi. Namun, hingga Kalla mengadakan jumpa pers tak ada jawaban dari Sri. "Saya SMS. Tanya soal tanggal. Belum ada jawabannya," katanya. (tempointeraktif.com)


*****

Skandal Bank Century dan Teatrikal Palsu Negara

03 September 2009 08:23 WIB

Kasus Bank Century terus menggelinding sebagai isu panas minggu ini. Pasalnya bank milik Robert Tantular itu telah memicu konflik terbuka antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Terkesan aneh, mengingat seorang menteri bertindak “terlalu” berani terhadap atasan. Ada apa sebenarnya?.

Kini persoalan Bank Century hampir pasti mengkuti pola dan kesalahan yang dilakukan pemerintah pada BLBI pertama tahun 1998, ketika pemerintah memberikan Bail Out kepada bank-bank yang dananya dirampok oleh pemiliknya sendiri dan menjadikan pemerintah sebagai penjamin, tameng, dan atau bodyguard untuk keamanan semuanya.

Menarik untuk mencermati tentang dana talangan atau Bail Out Bank Century yang membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Secara institusi, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengaku telah mengkonsultasikan tambahan suntikan dana tersebut kepada Bank Indonesia (sebagai regulator). Dalam hal ini, penambahan dana dilakukan karena Bank Century tidak memiliki rasio kecukupan modal (CAR).

Sebagai catatan, CAR Bank Century per 31 Oktober 2008 telah minus dari 3,25% anjlok menjadi -35,92%. Dengan demikian, LPS menyuntikkan dana segar atau penyertaan modal menjadi 10%. Dana yang dibutuhkan untuk hal ini mencapai Rp 2,77 triliun. Dalam perkembangannya, LPS per 31 Desember 2008 juga kembali menutup kebutuhan likuiditas Bank Century dengan menyuntik dana segar sebesar Rp 2,201 triliun.

Lebih lanjut, pada bulan Februari 2009, cash money terus disuntik sebesar Rp 1,55 triliun dan Rp 630 miliar. Dengan demikian total keseluruhan dana yang disuntikkan LPS ke Bank Centuy adalah Rp 6,7 triliun, sebuah jumlah yang fantastis dan rekor bagi pemerintah.

Persoalan muncul ketika ada yang mempertanyakan bagaimanakah nasib duit rakyat sebesar Rp 6,7 triliun?. Mengapa dana sebesar itu dengan mudah diberikan oleh pemerintah?. Atas pertimbangan apakah BI merekomendasi untuk melakukan Bail Out (dana talangan) kepada institusi bodong seperti Bank Century?.

Tidakkah BI belajar banyak dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLIBI) yang telah merugikan negara mencapai Rp 600 triliun yang hingga kini bahkan sampai 20 tahun mendatang rakyat harus membayarnya dengan bunga dan pokok sebesar Rp 60 triliun melalui APBN?. Di manakah tanggung-jawab BI sebagai badan pengawas perbankan nasional?.

Kini, setelah masalah Bank Century menjadi bahan diskusi publik, pemerintah harus tetap terbuka. Menkeu dan Gubernur BI harus bertanggung-jawab atas “tragedi” ekonomi jilid dua yang menimpa bangsa ini. Pengelolaan ekonomi dan aset republik sudah saatnya dilakukan dengan jujur dan berkeadilan. Kita telah bosan disuguhi dengan teatrikal dan drama palsu pengelolaan ekonomi dan aset bangsa. Negara tidak boleh mempermainkan rasa keadilan kepada rakyatnya.

Andai dana Rp 6,7 triliun disuntik untuk program public services seperti kesehatan dan pendidikan, sungguh begitu banyak rakyat yang bersyukur, karena tertolong kebaikan hati pemerintah. Kini, langkah strategis yang harus dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam bidang ekonomi adalah segera bertobat atas perbuatannya dan meminta maaf secara terbuka kepada pewaris sah kedaulatan, rakyat Indonesia. Lebih dari itu, sikap jantan JK atas tragedi Bank Century patut diacungi jempol. (waspada.co.id)


Jusuf Kalla